Piala Pertama Rayya

Siang ini, saya ikut mengantar Rayya mengikuti lomba pertamanya; Lomba Lafal Teks Pancasila tingkat TK se-Kota Tasikmalaya. Sejak masuk TK setengah tahun lalu, Rayya memang belum begitu aktif sekolah. Kalau dia mau sekolah ya pergi, kalau mogok atau bangun siang ya libur. hehehe. Saat didaftarkan sekolah dulu, usianya memang baru 3,5 tahun. Waktu itu guru-guru TK nya juga bingung, Rayya masuk ke kelas mana ya, soalnya usianya belum cukup, bahkan untuk kelas TK-A. Akhirnya saya bilang, Rayya ikut-ikutan sekolah aja, jadi 'anak bawang'.


Rayya memang sudah sangat ingin sekolah, dan saya pikir daripada di rumah juga main nggak jelas, mending main di sekolah. Pasti banyak ilmu yang bisa dipelajari. Minimal koleksi lagu hapalannya tambah banyak. Beneran lho, tiap hari Rayya selalu bawa lagu baru ke rumah, sampai saya bingung; ini guru-gurunya kreatif banget ya nyiptain lagu. sampe banyak gitu lagunya. Meski lagunya singkat-singkat, tapi tetep aja banyak. Salut deh buat Ibu-Ibu guru TK.

Saya sering dapat informasi kalau ada lomba-lomba yang bisa diikuti Rayya; misalnya lomba menggambar atau mewarnai. Tapi karena minat Rayya sepertinya tidak ke sana, tuh anak cuek-cuek aja pas ditanya mau ikutan atau enggak. Akhirnya semua dilewatkan begitu saja. Mungkin karena Rayya juga masih terlalu kecil, dia belum mengerti arti kata lomba. Tapi minggu lalu dia cerita dengan semangat kalau mau ikut lomba baca Pancasila. Lalu dengan bangga dia pamer kemampuannya baca teks Pancasila dengan utuh. Ya, utuh! Tidak ada kesalahan sama sekali dalam membaca urutan satu sampai limanya, kecuali lidah cadelnya. hehehe.

Dan siang ini kita semua pergi ke Asia Plaza untuk mendukung Rayya. Go Ade Rayya, gooo .... Sayangnya, sampai di lokasi Rayya mulai terlihat grogi. Jubelan pengunjung membuat wajah ceritanya terlihat tegang. Ya bayangin aja, anak-anak TK sekota Tasikmalaya tumplek semua di sana. Semakin riuh pula dengan emak-babe dari aak-anak TK itu. Huwaaa ... saya mulai mpot-mpotan nih. Jangan-jangan Rayya nanti malah mogok naik panggung, apalagi kejadian serupa sudah tampak di depan mata. Beberapa anak tampak nangis-nangis dan ngamuk nggak mau naik panggung. Beberapa teman sekelas Rayya pun mengalami kejadian yang sama. Saat giliran TK Rayya tampil, beberapa anak langsung demonstrasi keahliannya menangis. Daripada naik panggung, mereka memilih kejet-kejet di lantai. hehehe.

Cilaka, wajah Rayya makin tegang. Dia menatap 'demonstrasi gelutukan di lantai' ala teman-temannya dengan wajah bingung. Mungkin dalam pikirannya; "apakah aku harus melakukan hal yang sama?" hihihi. Dan saya bareng Iren dan Abith pun langsung pasang wajah cerah ceria di depannya. Pura-pura ngajak ngobrol dan bilang : "Adek anak jagoan, nanti nggak takut naik panggung, kan?" Rayya diem. Waduh!

Satu per satu nomor peserta di panggil, dan nomor Rayya pun semakin mendekat. Dalam ketegangan wajahnya, dia mengikuti antrian peserta mendekati panggung. Saya mulai deg-degan. Bagaimana pun, ini adalah panggung lombanya yang pertama. Kalau pun saat dipanggil namanya nanti Rayya malah milih kabur dari panggung dan lari ke arah Ibunya, saya bisa maklum. Tenang Nak, Bapakmu malah baru berani tampil depan umum saat kelas 5 SD!

Saya sudah siap depan panggung saat Rayya naik panggung untuk bersiap. Ada peserta lain yang sedang beraksi, dan Rayya harus bersiap di tepi panggung agar waktu tidak terbuang lama nantinya. Saya lambaikan tangan ke arahnya, agar dia tahu kalau saya ada di sana untuknya, untuk mendukungnya. Rayya meringis melihat saya. "Ayo, Nak, kamu pasti bisa!" Abith, Kakaknya, malah tutup muka dan ngumpet di belakang saya. Dia bilang, "Kakak takut adek nangis di atas panggung!" hehehe ... kok malah dia yang parno ya?


Dan Rayya pun kemudian tampil. Mata saya panas melihat dia berjalan tegak ke depan micropon, lalu tanpa ragu membacakan teks Pancasila dengan lantang. Sebenarnya tidak selantang saat latihan di rumah, tapi  speaker menggaungkan suaranya di seantero hall Asia Plaza. Itu suara Rayya! Itu suara anak saya! Waaah ... asli saya jadi pengen nangis. Sumpah terharu banget. Anak itu berhasil menaklukan ketakutan dan kegugupannya. Dia berhasil menaklukan panggung dan ratusan pasang mata yang melihatnya. Lihat saja, dia bisa membacakan teks Pancasila dengan lancar dan tanpa salah! Alhamdulillah ... bangganya Ayah padamu, Nak.

Saya berlari ke samping panggung untuk melihatnya berjalan ke samping panggung, menerima piala, lalu turun dengan wajahnya yang berseri-seri. "Ayah, aku dapat piala! Aku juara!" Dia mengacungkan piala di tangannya. Kami berjingkrak. Ya, Nak, kamu memang juara! Saya menciumnya. Kamu lah Sang Juara!

Setiap peserta yang sudah naik ke atas panggung dan ikut lomba memang mendapatkan piala, sebuah piala kemenangan atas perjuangan mereka menaklukan rasa takut dan gugup. Semua dapat piala! Terima kasih panitia dan ibu-ibu guru semua, ide pemberian piala ini sangat luar biasa. Lihat, semua anak tampak berseri mendekap piala masing-masing. Mereka bangga sudah menjadi juara bersama-bersama.

Tanpa menunggu hasil lomba yang sesungguhnya (Pemenang lomba sesungguhnya tetap ada, dan mendapatkan piala tersendiri yang lebih besar), kami beriringan pulang, membawa piala kemenangan Rayya.

Komentar

Greiche Gege mengatakan…
Huhuhuhu...
perasaan yang sama saat zebby tampil pertama kali.. rasanya dada mo meledak yah kang..

Rayya, insya Allah jadi anak shaleha yaa :) Juga Abith.. :)
Iwok mengatakan…
iya Ge, malah kita yang panas dingin lihat anak2 maju ke panggung ya? hahaha ... terharu banget-banget. Nggak peduli lagi jadi juara atau nggak, yg jelas dia sudah jadi juara buat orangtuanya.

Amiiin .. insya Allah Abith, Rayya, Zebbi, jadi anak2 shaleha yang bakal bikin kita semua bangga :)
Anonim mengatakan…
pinteerrr...yakin anaknya cerdas kaya bapaknya..hehe

sila mampir kang di blog sy kang...aya cai cai mah...

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban Itu Ada; Bocil Sembuh dari Panleukopenia

Digitalisasi Usaha untuk Bertahan di Masa Pandemi

[Tips Menulis] Ketebalan Sebuah Naskah Novel?