[Cerpen] Farewel Winter
Letta masih menyisakan sisiran rambut terakhirnya, ketika cermin di
depannya memantulkan seraut wajah dari balik pintu di belakangnya. Wajah itu
tersenyum cerah ke arahnya, secerah sinar mentari hangat yang menerobos malu-malu
tirai jendelanya.
Angin dingin berhembus menyapu wajah Letta yang tampak kusut. Perjalanan panjang belasan jam dari Jakarta, membuatnya letih. Dublin sedang menyambut musim dingin tiba. Daun-daun berguguran satu demi satu, jatuh beriringan menghempas tanah.
Cerpen ini pernah dimuat di Majalah STORY edisi Desember 2009
“Letta, can we go now?” Ray
berdiri tegak di ambang pintu.
Tahu sopan santun juga bule satu ini, pikir Letta geli. Rupanya Ray
cukup menghargai adat ketimuran darimana cewek itu berasal, dimana cowok nggak
sopan masuk kamar cewek seenaknya.
“Sebentar ya, Ray. Hari ini masih cukup panjang kalau aku minta waktu
5 menit lagi untuk sisiran kan?”
canda Letta.
“Well, ok. Aku tunggu di teras
depan?”
“Baiknya sih gitu. Kalau nggak, mendingan kamu minta coklat panas
dulu sama Mami di dapur!”
“Aku sudah minum!” teriakan Ray terdengar menjauhi kamar Letta.
Letta Cuma bisa nyengir. Ya sudah, kalau memang sudah minum sih!
Mungkin maksud Ray, dia sudah minum coklat sebelumnya tadi. Hihihi
Letta meraih sweater biru dongkernya, dan segera memakainya. Meski
winter baru di ambang pintu, tapi dinginnya sudah mulai menusuk tulang.
Khususnya buat Letta, yang baru seminggu ini mengalami dinginnya cuaca seperti
ini. Ih, sedingin-dinginnya musim hujan di Indonesia, perasaan nggak sedingin
ini deh! Setelah meraih syal tebal yang tergantung di lemari, Letta masih
melirik sekilas bayangannya di cermin, sebelum akhirnya melangkah keluar kamar.
Letta menghela nafas berat. Hari ini hari terakhirnya di Dublin. Setelah seminggu
ini dia menikmati segala keindahan yang ditawarkan ibukota Irlandia ini, besok
dia harus terbang pulang. Hari ini Papi selesai mengikuti pertemuan tentang
kepariwisataan, dan besok mereka ; Letta, Papi dan juga Mami harus kembali ke Bandung. Ih, perasaan baru
kemarin mereka sampai disini.
Kalau saja boleh nawar, Letta ingin semingguuuuuuuu … lagi mereka
tinggal disini. Tapi sepertinya Papi akan bertindak tegas menyeret mereka
kembali pulang. Biaya mengikuti seminar ini memang dibiayai Hotel tempat Papi
kerja, tapi semua biaya Letta dan Mami ikut kesini kan dirogoh dari tabungan Papi! Dan itu
nggak sedikit kan?
Untung saja ada kolega Papi yang tinggal di Dublin, dan mereka dengan senang hati
memberikan akomodasi penginapan gratis bagi Letta dan keluarga. Kalau nggak,
biayanya kan
semakin bengkak tuh!
Setelah pamitan sama Mami dan Tante Stella, Maminya Ray, Letta
bergegas keluar. Ray pasti sudah tidak sabar mengantarnya kembali keliling kota Dublin
untuk yang terakhir kalinya. Kali ini harus all
day long! Dan tidak boleh ada sejengkal pun yang ketinggalan.
Ray sudah berdiri di teras. Badan tinggi tegapnya terbebat dalam
sweater putih bergaris biru. Rambut pirang ikalnya menyembul dari balik kupluk
warna biru, senada dengan garis biru sweaternya. Matanya yang kehijauan
berpendar menyambut kedatangan Letta dari dalam rumah.
“Ayo!” Ray menarik lengannya keluar halaman.
“Hey? Kenapa mobilmu, mogok?” Letta memandang heran ke arah garasi
yang sudah terbuka, tapi Ray sepertinya tidak bermaksud menggunakan mobilnya.
“Mobilku baik-baik saja. Aku hanya ingin mengajakmu naik bus!”
cengir Ray.
Wah? Letta terbeliak. Sepertinya usul yang sangaaaat bagus. “Kita
akan kemana sekarang?”
“Keliling kota? Menjelajah sudut-sudut yang biasanya hanya kamu
lewati saja. Sekarang kita berjalan menyusurinya!”
“Setuju!”
“Well, kita harus segera.
5 menit lagi bus ke downtown akan
tiba di bus stop terdekat. Terlambat 1 detik, kita harus menunggu 15 menit
lagi! Taruhan, aku yang paling dulu sampai ke bus stop kalau kita adu lari? Ayo
….”
“Hey, curang!! Belum aba-aba kok sudah lari duluan sih?”
Ray tertawa penuh kemenangan. Mereka berkejaran menyusuri pinggir
jalan yang tidak terlalu ramai. Daun-daun berguguran dengan indah dalam
semburat sinar matahari yang keemasan. Rumah Ray, dimana mereka tinggal berada
di daerah Swords, pinggiran kota Dublin, dan butuh setengah jam mencapai pusat kota naik kendaraan.
Sambil berlari mengejar Ray, Letta merapatkan syal di lehernya. Angin yang
berhembus membuatnya sedikit mengigil. Semakin mengigil mengingat hari ini
adalah hari terakhirnya bersama Ray.
Letta menatap Ray nanar.
***
Angin dingin berhembus menyapu wajah Letta yang tampak kusut. Perjalanan panjang belasan jam dari Jakarta, membuatnya letih. Dublin sedang menyambut musim dingin tiba. Daun-daun berguguran satu demi satu, jatuh beriringan menghempas tanah.
“Kamu pasti Letta!” sesosok tinggi tegap langsung mengulurkan
tangannya, bertepatan saat Papi bersalaman dengan Om Hans, dan Mami dengan
tante Stella.
Letta mengernyitkan dahinya. Siapa nih, sok akrab banget?
“Aku Ray, anak mereka, teman ayahmu! Selamat datang di Dublin!”
Letta tersenyum mengenang saat pertama kalinya menginjak bumi Dublin. Ray yang sok
akrab, dan sedikit jail membuat kekhawatiran jadi ekor Mami kemanapun Mami akan
melangkah, sirna sudah. Awalnya Letta khawatir hari-harinya disini hanya akan
diisi dengan jalan-jalan berdua bersama Mami, tapi ternyata ada Ray!
Dan selanjutnya Ray ada dalam setiap langkahnya menjelajahi setiap
sudut kota Dublin.
Menikmati setiap lekuk Trinity College, Dublin castle, dan bangunan tua lainnya
yang antik dan mengagumkan, serasa selebritis di dalam museum lilin nasional,
melihat-lihat proses pembuatan bir Guinness di Guinness storehouse, menikmati segelas irish coffee di Temple Bar, menikmati
sore yang indah dengan guguran daun-daun di Phoenix Park, dan menyaksikan
kehidupan malam dengan lampu yang berkilauan dari atas Penny Bridge. Atau
bahkan ketika tersaruk-saruk di lorong-lorong kecil penjual cendera mata,
mencari barang murah meriah (tapi lucu) buat oleh-oleh.
Letta menarik nafas dalam. Besok semuanya musti berakhir, Ray?
“Hey, bengong aja! Kenapa Letta?”
Eh? Letta tersentak. Ray sedang menatap bingung. “Kita sudah hampir
sampai di pusat kota.
Lihat, kita turun di bus stop depan! Awas syal-mu terlepas.” Tangannya yang
kekar meraih syal biru muda yang melorot ke pangkuan Letta. Dengan perlahan Ray
membelitkan kembali syal itu di leher Letta, dan merapikannya. Letta merasa
hembusan hangat nafas cowok itu menerpa halus pipinya. Wajah Ray begitu dekat.
“Mungkin kamu belum terbiasa dengan cuaca dingin, dan syal ini akan
cukup menghangatkan kamu. Next time
kamu ke Dublin
lagi, mudah-mudahan kamu sudah terbiasa dengan cuaca seperti ini.”
Itulah Ray, aku tidak tahu kapan aku bisa kembali lagi kesini.
Bertemu kamu lagi! Apa mungkin Papi mau mengajaknya lagi kalau ada seminar
pariwisata lagi di sini? Belum tentu, Ray!
“Kamu kenapa sih, Let? Wajahmu murung terus sejak di bis tadi?” Ray
menghentikan langkahnya, dan menatap Letta dalam. “kamu tidak suka jalan kaki
ya? Maaf, aku kira kamu senang kalau kita …”
“Tidak Ray, aku suka. Sungguh!” Letta mendongak. Cowok itu begitu
tinggi dibandingkan tubuh mungilnya. “Aku hanya sedih.”
“Sedih?” kedua alis Ray bertaut.
“Ini hari terakhirku di Dublin,”
desah Letta. Dan hari terakhir bersamamu! Erangnya dalam hati.
Tak disangka kalau jawaban Letta malah membuat Ray tergelak.
“Dan kamu akan menghabiskan hari terakhirmu dengan sedih? Dengan
wajah murung seperti itu?”
Letta menghentikan langkahnya. Tangannya menyilang di dada, dengan
dada yang berkecamuk ragu. Ray malah tertawa dengan semua ini? Dia senang aku
tidak akan mengganggu hari-harinya lagi? Ray bahagia tidak harus mengantarnya
lagi keliling kota
dan tempat-tempat wisata? Ray senang akan terbebas dari segala kecerewetannya
menayakan ini-itu tentang kota
kelahirannya?
“C’mon Letta, tidak
sepatutnya kamu sedih seperti itu. Justru karena ini hari terakhir kamu disini,
kamu harus menghabiskan kegembiraanmu!” Senyum Ray terbuka lebar. “Cheer up! Berikan senyum kamu buatku!”
Letta menarik bibirnya ke atas dengan terpaksa.
“Tidak seperti itu! Senyum yang selalu mengisi hari-harimu kemarin!
Senyum seorang Letta yang cantik!” senyum itu keluar lagi dari bibir Ray,
senyum yang sering membuat dada Letta berdenyut-denyut tak karuan.
“Ayo ah,” Ray menarik tangan Letta, tak sadar kalau yang ditariknya
sudah mulai mengembangkan senyum tulus. Ray benar, rugi rasanya kalau harus
murung di pagi yang cerah ini.
Upper O’ Connell street
terlihat mulai ramai dipadati manusia. Beberapa kumpulan terlihat bergerombol
di sekitar monumen city center (spire of Dublin), menikmati
sinar matahari yang hangat, sementara yang lainnya memadati toko-toko pakaian
yang mulai obral pakaian-pakaian musim dingin. Besok lusa, Oktober akan semakin
dingin. Sementara itu para turis berdesakan di toko-toko cenderamata khas
Irlandia. Hiruk pikuk yang menyenangkan dan menyegarkan pikiran Letta.
Letta menghirup udara dalam-dalam. Segar. Matanya menatap
berkeliling. Bangunan antik mendominasi dimana-mana. Bangunan-bangunan antik
dengan ukiran-ukiran yang indah. Sejauh kaki melangkah dan mata memandang,
bangunan bersejarah ada dimana-mana.
“Dublin
memang penuh dengan bangunan bersejarah dan budaya, Letta.” Ray seolah mengerti
kemana arah pandangan cewek itu. “Kamu ingat kemarin-kemarin kita banyak
melewati castle, museum, dan gereja tua yang sudah ribuan tahun umurnya?”
Letta mengangguk. Bangunan-bangunan yang sangat indah, dia serasa
kembali ke jaman kerajaan selama ini. Pastinya setiap bangunan itu meninggalkan
sejarah yang sangat menarik
“Dublin
ditemukan awal abad ke sembilan ketika bangsa Viking melakukan invasi
besar-besar di luar Skandinavia saat itu. Sejak saat itu Dublin menderita karena banyaknya perang yang
terjadi dan berbagai masalah. Tapi abad ke dua pulah ini Dublin
berdiri dengan identitasnya sendiri dan hadir menjadi kota modern yang kaya akan sejarah dan bangga
atas masa lalunya.” Ada
nada kebanggaan hadir dalam suara Ray. Terlihat jelas betapa cowok ini sangat
mencintai kota
dan sejarah nenek moyangnya.
Detak waktu terus bergerak cepat tanpa bisa dihentikan, berpacu
dalam detak dan debar tanpa tentu. Ray membawa Letta ke Bargain Books, toko
buku langganannya yang memberikan diskon harga gila-gilaan, membelikan Letta tshirt
kaos tim sepakbola kesayangan Ray di Carroll’s, makan siang di Burger King, dan
menyusuri jajaran pub demi pub yang selalu ramai setiap malam di area Temple Bar.
Langkah-langkah Letta semakin melemah … diliriknya jam mungil di pergelangan
tangannya dengan gelisah. Beberapa jam lagi kota ini akan berselimut kelam dengan kerlip
lampu bak kunang-kunang. Memang indah, tapi saat-saat yang ditakutkan akan
segera tiba, dan semua akan berakhir. Tidak akan ada lagi keindahan seperti ini
yang bisa dinikmatinya nanti, tidak akan ada lagi dingin, tidak akan dilihatnya
lagi castle bak istana di negeri dongeng, bangunan antik yang memukau, padang
rumput yang hijau, dan … tidak akan ada lagi Ray!
Daun-daun di Phoenix park masih terus berguguran, luruh seperti
hancurnya perasaan Letta. Di sebelahnya Ray berjalan perlahan dalam diam.
“Letta,” Ray mencekal lengan gadis itu tiba-tiba, dan menuntunnya ke
bangku taman, dan duduk disana menghadap kolam taman dengan beberapa angsa
putih berenang di atas air yang beralun pelan. “Mungkin aku pun harus jujur
terhadapmu sekarang.”
Letta menoleh, menatap Ray dengan tanda tanya besar. Kenapa Ray?
Tanyanya tak terucap.
“Seminggu ini aku senang sekali bisa menemanimu, berkeliling
menunjukkan setiap jengkal dari kota
yang sangat aku cintai, menunjukkan apa yang kami punya dan banggakan.”
“Tapi apa Ray?”
Harus ada kata tapi setelah kalimat itu, dan Letta tak sabar untuk
mendengarnya.
“Aku sedih harus kehilangan kamu!” mata Ray menatap dalam.
Letta membuang muka, jauh ke hamparan rumput di sampingnya. Phoenix Park yang sangat luas terasa sepi, hanya
suara daun-daun yang bergemerisik tertiup angin yang menemani mereka. Suara
angin yang menerbangkan guguran daun dan terhempas jatuh.
Kamu merasakan hal yang sama Ray? Batin Letta sedih. Kehilangan
kebersamaan yang sudah terjalin seminggu ini.
Letta membalikkan badan, menghadap Ray, dan memberikan senyum yang
dipaksakannya. “Hey, suatu saat kita akan bertemu lagi kan?”
Mata itu terasa kosong, bening tapi hampa. “Kapan?”
“Someday!”
“Kapan?”
Letta mengangkat bahunya yang terasa berat. “Kita tidak pernah tahu,
Ray!”
“Tinggallah disini, Letta!”
Mata Letta terbelalak. “Are
you crazy? Ray, kamu tahu itu tidak akan mungkin!”
Ray mengangkat kedua kakinya, naik ke atas bangku taman, dan memeluk
lututnya. Matanya menatap lurus ke depan.
“Kamu gadis yang sangat berbeda, Letta!” ucapnya tanpa mengalihkan
pandangan. “Kamu orang yang lucu!”
“Heh, seperti badut?”
Ray tergelak ringan. Matanya masih menatap ke depan. “Bukan seperti
itu dong. Kamu periang, hangat, dan perhatian.” Ray menoleh, menatap bola mata
Letta dalam, “kamu sudah membuat saya merasa sangat dibutuhkan!”
“Tentu saja dong, Ray! Tanpa kamu aku bisa nyasar-nyasar disini!”
Letta ikut tergelak.
“Tidak seperti itu, Letta. Kamu memperlakukan aku beda dengan apa
yang dilakukan cewek-cewek di Dublin sini.”
“Itu karena budaya kita berbeda!”
“Dan aku merasa nyaman dengan perbedaan itu. Aku merasa sangat
dihargai. Ah sudahlah, mungkin kamu tidak akan mengerti karena aku tidak bisa
mengungkapkan apa sebenarnya yang aku rasakan.”
Mungkin aku mengerti Ray,
mungkin saja kamu memiliki perasaan yang sama dengan yang aku rasakan.
Mungkinkah?
Ah Ray, aku semakin tidak
bisa menahan perasaan itu tumbuh perlahan seminggu ini. Tidakkah kamu tahu
bahwa setiap kali kita mengunjungi setiap castle disini, aku merasa sebagai
sebagai princess dan kamu pangerannya? Tidakkah kamu tahu bahwa aku pun merasa
sangat nyaman berjalan di sampingmu, mendengarkan celotehmu, tertawa dalam
semua leluconmu?
Ray menghela nafas berat. Kemudian membalikkan badannya ke arah
Letta, meraih kedua telapak tangan dan menggenggamnya erat.
“Mungkin ini bodoh, dan kamu akan menertawakannya. Seminggu adalah
waktu yang sangat singkat untuk meyakinkan diri terhadap perasaan ini, tapi aku
tidak akan punya waktu lagi. Aku sayang sama kamu, Letta!”
“Ray?”
“Tertawa lah Letta, aku tidak perduli.”
“Ray …. Kita mempunyai perasaan yang sama!”
Letta merasa tidak ada yang perlu disembunyikannya lagi. Biarlah
semuanya terungkap sebelum penyesalan itu tiba.
“Letta?” Mata Ray terlihat berpijar.
Letta mengangguk dalam senyum getir, merasakan genggaman tangan Ray
semakin menguat.
“Haruskah kita bergembira? Meski akhirnya kita harus mengakhirinya
dengan kesedihan dan salam perpisahan?”
“Aku tidak tahu, Ray! Aku benar-benar tidak tahu!”
Sepasang angsa terbang melintas kolam, dan matahari bergerak turun
perlahan, bersembunyi di balik rimbunnya pohon oak, kenari dan pinus di bagian
barat taman. Udara semakin dingin menusuk tulang, memaksa mereka mengetatkan
syal dan sweater mereka.
“Kita masih bisa berkirim email kan, Ray?”
“Bukan kalimat mutiara yang bertaburan bunga yang aku harapkan,
Letta! Aku ingin tetap bisa menatap wajahmu, matamu. Mendengar candamu dan
keriaanmu!” ada helaan nafas di akhir kalimatnya. Semua terasa semakin berat.
Letta kembali terdiam.
“Semua harus berakhir disini? Sekarang?”
“Meskipun kita mencoba mempertahankannya, semua tetap akan berakhir,
Ray. Jarak kita terlalu jauh.”
“Tunggu aku di suatu waktu, Letta!” ada nada harap tertuang disana.
“Kapan?”
“Tetaplah menunggu waktu itu. Sampai kamu merasa bosan untuk
menungguku!”
Matahari semakin tua, dan kegelapan mulai menjelang. Kunang-kunang
merkuri mulai terpasang dan berpendar di mana-mana.
“Saatnya kita pulang, Ray,” Ditepuknya bahu lelaki muda itu
perlahan. “Senja sudah berlalu.”
“Aku tidak ingin pulang.”
“Kita harus pulang! Kau mau aku dingin membeku disini?”
Ray bangkit perlahan dari duduknya, kemudian melangkah gontai di
sisi Letta. Tangan mereka bertaut erat. Kuat dan tak ingin lepas.
Winter baru tiba di bumi Dublin,
tapi sudah berakhir di hati Letta, dengan meninggalkan beribu rasa. Semua rasa
yang mungkin akan membekas selamanya.
Farewell Winter, selamat tinggal Ray! []
Cerpen ini pernah dimuat di Majalah STORY edisi Desember 2009
Komentar