[Laporan Perjalanan] Mangkunegaran Performing Art Surakarta 2013

Menarik sekali menyaksikan suguhan Panitia Asean Blogger Festival Indonesia (ABFI) 2013 dalam menyusun rangkaian acara yang digelar. Sesuai dengan tema yang diusungnya, Reinventing the Spirit of Cultural Heritage in Southeast Asia, banyak unsur-unsur budaya yang kemudian dilesakkan ke dalam agenda kunjungan para peserta ABFI. Agenda ini bukanlah sekadar jadwal tempelan belaka, karena semuanya sudah terprogram dengan baik. Kalau melihat bahwa ABFI 2013 sudah masuk ke dalam kalender Event Kota Surakarta 2013, tentu persiapan dan pendekatan dengan unsur pemerintah (Pemkot Solo) sudah terjalin jauh sebelumnya.

Banner Event Surakarta  bulan Mei yang ada di setiap sudut kota

Tentu bukan sebuah kebetulan pula apabila ABFI dilaksanakan di Solo. Merujuk kembali pada tema gelaran ABFI untuk mengangkat kembali warisan budaya di negara-negara Asean, Solo menjadi lokasi yang tepat untuk memulai. Solo menjadi salah satu kota yang penuh dengan warisan budaya yang masih bertahan dan layak diteladani. Perhelatan ABFI pada bulan Mei 2013 pun seolah sengaja disandingkan dengan bukti-bukti nyata bagaimana budaya tetap dilestarikan di kota ini. Hal ini tentu menjadi harapan agar para peserta ABFI dapat mengambil segala manfaatnya untuk dapat diterapkan di daerah atau negara masing-masing.

Setelah disuguhi pertunjukan tarian tradisional pada saat gala dinner dan welcoming party di Loji Gandrung (Rumah Dinas Walikota Surakarta), malam kedua seluruh peserta ABFI diajak untuk menyaksikan pagelaran budaya yang sesungguhnya. Tidak tanggung-tanggung, pagelaran ini digelar langsung oleh keluarga kerajaan Mangkunegaran. Peserta ABFI harusnya bersyukur dapat menyaksikan secara langsung agenda tahunan dari Pura Mangkunegaran ini, karena pertunjukkan ini tidak dapat disaksikan setiap saat.


Mangkunegaran Performing Art jelas tercantum dalam Kalender Event Kota Surakarta 2013, dan sudah menjadi agenda tahunan yang diselenggarakan Pura Mangkunegaran serta menjadi atraksi unggulan kota Solo. Yang menarik, seluruh pagelaran tari yang ditampilkan merupakan karya dari keluarga istana dan menjadi hak cipta Pura Mangkunegaran. Contohnya Tari Sobrak yang diciptakan oleh Gusti Heru (Gusti Pangeran Haryo Herwasto Kusumo) dan Tari Mandrarini yang diciptakan oleh Raja Mangkunegaran IV. Begitu jelas terlihat bagaimana budaya itu terus dipelihara dan dilestarikan, bahkan di dalam lingkungan istana sendiri, sehingga akan menjadi contoh baik bagi seluruh masyarakat Solo untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan lokal.

Rasanya merinding melihat bagaimana antusiasme masyarakat kota Solo untuk menyaksikan Mangkunegaran Performing Art  ini. Entah kenapa saya ikut merasa haru dan bangga,  betapa budaya masih begitu dicintai di kota ini. Mereka datang berduyung-duyun, tua, muda, anak, sampai balita, laki-laki dan perempuan. Area pendopo (balairung pertunjukkan) yang sudah disesaki pengunjung yang sudah datang lebih awal tak menyurutkan mereka yang baru datang. Mereka bergerak menuju hamparan rumput lalu duduk berbaris dengan tertib. Mereka tidak peduli tidak bisa menyaksikan secara langsung setiap pertunjukkan karena pihak istana sudah menyiapkan layar-layar tancap untuk menyiarkan pertunjukkan yang sudah disorot kamera. Di layar-layar itulah mereka menonton, mengagumi dan menikmati setiap lekuk dan gerak para penarinya, tanpa harus kehilangan esensinya.


Dada saya berkecamuk melihat bagaimana ketertiban itu tercipta. Tidak ada teriakan marah karena pandangan yang terhalang, tidak ada pekik suara pedagang menjajakan dagangan, yang ada hanya wajah-wajah hening penuh antusias menyaksikan tayangan seiring suara gamelan yang terus berkumandang. Beberapa petugas polisi yang disiagakan berjalan santai mengelilingi area venue, seolah tak mengkhawatirkan ada sesuatu yang bakal terjadi. Salut buat warga Solo! Seandainya setiap tontonan selalu berjalan setertib ini.

Mangkunegaran Performing Art  berlangsung selama 2 hari, yaitu tanggal 10 dan 11 Mei 2013, yang dibuka secara resmi oleh Wakil Walikota Solo dengan kata sambutan dari perwakilan Pura Mangkunegaran. Acara ini menggelar sejumlah tarian yang dibawakan oleh puluhan (atau ratusan?) anak-anak dan remaja. Tidak kurang  dari Tari Golek Sukoreno, Tari Kupu Kupu, Tari Sobrak, dan Opera Timun Mas yang dipertunjukkan pada malam pertama bagi seluruh masyarakat Solo dan seluruh pengunjung yang terus berdatangan.


Saya mungkin pernah menyaksikan tarian-tarian tradisional seperti ini di televisi. Tetapi nuansanya begitu berbeda saat menyaksikannya secara langsung, seakan ada daya magis tersendiri yang membetot perhatian saya. Suara gamelan yang terdengar dan gerak luwes penarinya menjadi atraksi menarik yang tidak ingin terlewatkan. Saya yakin para peserta ABFI lainnya pun merasa demikian. Semuanya merangsek maju, berusaha mendapatkan tempat strategis paling depan, dengan kamera-kamera siap bidik di tangan. Beberapa wisatawan asing pun terlihat di beberapa sudut venue, menyaksikan jalannya pagelaran tanpa berkedip. Aura budaya magis itu begitu kental terasa.

Ratusan anak dan remaja menari silih berganti. Gemulai tangan dan luwesnya badan mereka menunjukkan kalau mereka sudah mengenal seni tari sejak lama. Bakat seni mereka sudah terasah sejak dini. Saya tahu itu,  karena beberapa jam sebelumnya saya sempat menyaksikan betapa budaya tradisional memang mengakar kuat pada masyarakat Solo.


Taman Sriwedari, ke tempat itulah saya sempat melangkah saat ada kesempatan luang siang sebelumnya. Niatnya ingin melihat dari dekat Gedung Wayang Orang Sriwedari, tetapi yang saya dapatkan lebih dari itu. Saya justru dihadapkan pada sebuah pemandangan yang membuat saya takjub, lantas memaklumi apabila julukan kota budaya layak disematkan pada Solo.

Sebuah joglo di dalam Taman Sriwedari tampak dipenuhi ratusan anak . Mulai dari usia balita sampai anak menjelang remaja, semua berkumpul untuk sebuah tujuan yang sama; latihan menari! Ya, keramaian yang semula saya kira hanyalah keramaian biasa mampu membuat saya terkesima; di tempat inilah ternyata anak-anak Kota Solo belajar menari. Di tempat inilah salah satu akar budaya tercipta dan tergali.


Anak-anak itu (beberapa masih terlihat begitu imut) dipisahkan ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda, sesuai dengan usia, dan mungkin juga sesuai dengan kemampuan dan kemahiran mereka. Cukup terlihat kelompok mana yang baru mempelajari gerakan dasar, kelompok mana yang sudah mulai menghapal gerakan, dan kelompok mana yang sudah cukup terlatih.

Bunyi gamelan pengiring tarian yang diputar dari tape recorder mengalun dari berbagai sisi, musik yang berbeda-beda sesuai dengan kelompok masing-masing. Suara para instruktur ikut ramai terdengar, memberikan instruksi dan arahan, membuat suasana siang itu terasa sangat hidup. Dan yang membuat semuanya tampak lengkap, anak-anak itu, tak peduli berapa pun usianya, tampak sangat menikmati setiap waktu mereka. Meski gerakan mereka tampak masih patah-patah dan belum luwes, tapi sudah terlihat semangat dan keinginan mereka untuk bisa.


Di sisi lain joglo, sekelompok anak lelaki melakukan hal yang sama. Bahkan anak laki-laki di Solo pun sudah belajar menari semenjak dini! Rasanya saya ingin bertepuk tangan sebagai tanda kagum. Di daerah lain, menari mungkin bukan sebuah pilihan menarik bagi anak laki-laki, tetapi di Solo anggapan itu langsung buyar. Bukan hanya ada satu dan dua anak laki-laki saja, tetapi ada puluhan anak yang sedang berlatih menari dengan gagahnya. Saya yakin, anak-anak ini tidak mengabaikan pengaruh modern yang ada sekarang ini, tetapi jelas mereka tidak melupakan dari mana budaya mereka berasal.

Rasanya semakin jelas kalau banyak pagelaran dan pertunjukan seni tari tradisional di kota Solo. Bukan saja karena masyarakatnya begitu mencintai budaya dan kearifan lokal, tetapi juga karena mereka menyimpan banyak bibit-bibit seniman unggul, yang akan mewarisi dan mewariskan budaya daerah mereka sendiri.

Dengan tema yang diusungnya tahun ini, Asean Blogger Chapter Indonesia telah tepat merangkul Kota Solo untuk membuka gerbang dalam menanamkan rasa cinta terhadap warisan budaya di Asia Tenggara. Negara-negara Asean adalah negara yang sangat kaya dengan warisan budaya bangsanya. Alangkah indahnya kalau blogger ikut memegang peranan dalam menjaga, mengenalkan, atau bahkan mempromosikan keragaman budaya ini ke seluruh penjuru dunia, sehingga budaya itu akan terus lestari dan tidak luntur tergerus arus modernisasi global. Bukan tidak mungkin, blogger dan Asean Blogger dapat menjembatani event pertukaran pertunjukkan budaya antar negara Asean sehingga dapat mewujudkan target Komunitas Asean 2015 yang lebih solid.

Asean Blogger Festival Indonesia 2013 sudah usai. Melalui program budaya yang disajikan oleh tuan rumah  penyelenggara, semoga para peserta dapat mengambil pelajaran tentang cara menghargai sebuah warisan budaya. Solo sudah memberi contoh, tinggal memikirkan apa yang bisa kita perbuat untuk warisan budaya di daerah masing-masing. Memang benar, kalau bukan kita, lalu siapa lagi?

Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Reportase by pegipegi.com dan AseanBlogger

Komentar

seruu kaang ..!!
kok aku ga dapet poto2 itu yang di Mangkunegara,
Soale penuuh, ga kbagian, jadi jadinya narsis2 di belakang :D
Iwok mengatakan…
@Nchi - aku sempet merangsek ke depan, uyel-uyelan sama blogger lain buat dapetin fotonya. Hahaha ...
Niar Ningrum mengatakan…
foto2 di mangkunegara niar dapet nya ndak fokus gitu, orangnya untel2an gitu :D

oiyaa ke sriwedari wahh kemarin padahal pengen kesana juga :D

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban Itu Ada; Bocil Sembuh dari Panleukopenia

Digitalisasi Usaha untuk Bertahan di Masa Pandemi

[Tips Menulis] Ketebalan Sebuah Naskah Novel?