Nias Trip, Tango #HandinHand [Masih] #Day2

Laporan perjalanan sebelumnya bisa dibaca di sini dan sini.

Perjalanan hari ke dua belum usai. Hari masih sangat siang. Matahari Nias masih bersinar terik saat kita meninggalkan rumah kepala desa dan seluruh masyarakat dusun 1-3 Banua Gea. Acara ‘Kamis Ceria bersama Tango dan OBI’ memang sudah usai, tapi perjalanan kita hari itu belum selesai. Masih ada lokasi yang akan kita tuju sesuai jadwal yang sudah di susun. Kita akan berkunjung ke rumah keluarga Oprianus Gea.

Oprianus Gea mungkin bukan termasuk salah satu anak bergizi buruk di Nias. Tetapi, kondisi keluarganya tidak kalah memprihatinkan. Dari awal, kisah tentang keluarga ini sudah terbayang-bayang dalam benak saya, dan membuat saya harus mengelus dada. Sulit membayangkan kehidupan sebuah keluarga dengan 5 orang anak di tengah himpitan kemiskinan. Di mana sulitnya? Kondisi rumah mereka!

Dipan ini digunakan seluruh anggota keluarga untuk tidur berdenpetan
Oprianus beserta 4 kakak dan kedua orangtuanya harus tinggal di sebuah rumah berdinding papan yang ukurannya hanya 1,5 x 2 meter saja! Tidak ada jendela, tidak ada perabotan. Yang ada hanyalah sebuah dipan tanpa alas yang harus digunakan untuk tidur mereka bertujuh! Di sanalah keluarga ini menghabiskan hari-harinya sepanjang hari, sepanjang minggu, bulan dan tahun! Ya Tuhan, bahkan kamar anak saya saja (dan dihuni seorang diri) bisa 2 kali lebih besar dari itu. Sementara mereka harus berhimpitan satu sama lain, tidur berjajar tanpa bisa membalikkan badannya sesuka hati. Belum lagi dinding papan yang dipasang tidak rapat memungkinkan angin dan bahkan hujan bertiup masuk sepanjang malam. Bagaimana keluarga ini bisa hidup sehat?

Saya mungkin tidak bisa mempercayainya, seandainya hari itu tidak datang sendiri melihatnya. Tidak mudah, karena perjalanannya harus melintasi pesawahan, kebun, dan juga hutan yang masih cukup lebat! Lebih dari setengah jam kami berjalan kaki dari ujung jalan untuk mencapai lokasi ini, menyusuri jalanan setapak yang hanya bisa dilalui kendaraan roda 2. Dulu, jalan setapak ini masih berupa jalanan tanah dan berbatu. Sejak keluarga Oprianus Gea ini ‘ditemukan’, jalanan setapak ini sudah lebih diperhatikan. Ada aspal yang sudah melapisi jalanan selebar satu meter ini. Ya, hanya satu meter saja! Tidak ada penerangan sepanjang jalan, karena rumah-rumah di sekitar hutan ini hanya ada beberapa buah saja, itupun dengan jarak yang sangat berjauhan. Terbayang kalau harus memasuki perkampungan ini malam hari, gelap gulita itu sudah pasti. Dan saya tidak yakin berani melewati jalanan ini pada malam hari seorang diri.

Jalanan menuju rumah Oprianus Gea. (foto punya @justsilly)
Terpencil, itu satu kata untuk melukiskan perkampungan ini. Sawah membentang dan hutan yang masih lebat membatasi setiap sisinya. Mungkin mereka sudah terbiasa dengan kondisi seperti itu, tetapi jujur saja saya tidak. Alangkah sulitnya untuk sekadar melihat dunia luar dari tempat seperti ini. Ya, miris sekali membayangkan mereka yang harus tinggal di wilayah terpencil seperti ini. Jangankan untuk melihat ingar bingar dunia, untuk bersosialisasi dengan masyarakat sekitar pun mereka harus melangkah jauh. Sekolah? Kesehatan? Duh.

Langkah kami membelok dari jalan setapak, memasuki sebuah perkebunan karet. Di tengah-tengah perkebunan itu, terlihatlah rumah keluarga Oprianus. Setelah keringat kami berleleran (khususnya karena panas terik), akhirnya perjalanan jauh kami tiba di tujuan.

Dulu dan sekarang
Gubuk papan dan kusam ukuran 1,5 x 2 meter itu sudah hilang! Sebagai gantinya, saya melihat sebuah rumah berdinding papan yang jauh lebih luas dan bersih. Rumah bercat putih itu tidak indah dan megah, tetapi jauh lebih nyaman dibanding apa yang ada di benak saya sebelumnya. Tim Tango dan OBI sudah melakukan renovasi beberapa saat sebelumnya. Keluarga Oprianus (minus Ayahnya yang sedang sakit TB paru parah dan saat itu sedang dirawat di rumah adiknya), menyambut kami dengan senyum terkembang.

Rumah itu sudah berlantai semen sekarang, tidak beralaskan tanah lagi seperti sebelumnya. Di setiap dindingnya terdapat jendela sebagai ventilasi ruangan. Atapnya sudah menggunakan seng. Selain itu, ada pula dapur di ruangan terpisah (dulu, acara memasak dilakukan di ruangan sempit yang sama). Saya bisa merasakan kegembiraan di setiap senyum mereka. Di rumah ini mereka bisa lebih tenang merenda hari esok dan masa depan.

Lokasinya di tengah hutan
Rumah mereka yang lama ternyata tidak dihilangkan. Saat saya memasuki rumah itu, ternyata gubuk mereka masih ada di dalam rumah, sudah dibenahi dan dijadikan kamar. Sementara ruangan tambahan hasil renovasi dari Tango digunakan untuk ruangan lainnya.

Berbeda dengan anak-anak lainnya, Oprianus terus menerus menebarkan senyum. Dia tidak sulit didekati, diajak ngobrol (meski harus lewat penerjemah), atau diajak bermain. Matanya berbinar-binar. Dan saya sangat berharap, anak ini (dan anak-anak lainnya di Nias) dapat mengecap masa depan yang lebih baik setelah ini. Mereka tidak ingin dilahirkan dalam situasi sulit seperti itu. Semoga nasib akan mengubah mereka.

Kurang dari satu jam kami berada di sana. Seperti di tempat lainnya, kami membagikan mainan, pakaian, dan juga produk Tango. Saya yakin bantuan yang mungkin ‘tidak seberapa’ itu akan berarti banyak bagi mereka. Setidaknya mereka bisa mengetahui bahwa di luar sana, masih banyak orang yang peduli terhadap nasib mereka dan mendoakan masa depan mereka.

Saya meninggalkan kediaman keluarga Oprianus Gea dengan peringatan kuat untuk diri sendiri; BERSYUKURLAH! Terkadang saya mungkin lupa untuk mensyukuri nikmat yang sudah Allah berikan. Padahal, apa yang sudah saya terima dan nikmati sampai saat ini, mungkin belum pernah dikecap oleh banyak orang di luar sana. Oprianus Gea, Brian Harefa, Krisman Waruwu, dan ratusan anak Nias lainnya sudah menyadarkan saya; betapa jauh beruntungnya saya dibanding mereka.

Kaki saya kembali melangkah, meninggalkan lokasi yang entah kapan bisa saya jejak lagi. Satu yang pasti, saya tidak akan pernah melupakan hari ini. Insya Allah.

Foto bersama sebelum pulang
Tuntas sudah agenda sosial Tango #NiasHandinHand yang harus kami lakukan. Kami mungkin sudah berbagi terhadap masyarakat Banua Gea selama dua hari ini. Tetapi, tahukah kalau mereka juga sudah ikut berbagi terhadap kami? Banyak hikmah yang saya peroleh, banyak pelajaran yang saya dapat dari kegiatan ini. Dan itu priceless banget! Saya harus mengucapkan terima kasih juga pada mereka; Sawohagele Nias!

Fafalo Beach, Tuhemberua
Matahari mulai turun saat kita menepi ke Pantai Fafalo. Ini adalah salah satu pantai wisata di Nias Utara. Saatnya kita rehat sambil menikmati keindahan pantai Nias. Pantainya keren! Tanahnya landai dengan ombak yang beralun pelan. Sama sekali tidak terlihat ada ombak-ombak yang berdebur kencang. Kok bisa, ya? Pantai kayak gini cocok banget buat liburan sama anak-anak nih. Sayangnya jauh. Hiks.

Mas Anto bagian ngupas kelapa ^^
Saat itu, pantai Fafalo sepi sekali. Selain kita, tidak terlihat ada pengunjung lainnya di sekitar pantai. Fafalo benar-benar milik kita saat itu. Hehehe. Karena sepi, warung satu-satunya yang ada pun tutup, padahal banyak yang pengen banget menikmati suasana sore di pantai sambil menyeruput kopi. Pun, harapan kita untuk bisa menikmati kelapa muda pun hampir saja musnah. Belinya di manaaaa? Hehehe. Untungnya ada warga sekitar yang berbaik hati memanjat pohon kelapanya untuk kita. Tapi, harus ngupas sendiri! Hiyaaa .... Akhirnya kita gantian jungkir balik ngupas kelapa satu per satu.

Nongkrong bersama di Fafalo Beach
Dunia wisata pantai di Nias memang tidak begitu menggembirakan. Sarana dan prasarananya minim sekali. Selain wisatawan dari luar, jarang sekali masyarakat Nias yang menyengajakan diri bermain ke pantai. Iseng saya tanya kenapa? “Mas, orang Nias itu setiap hari lihat laut. Wilayah mereka dikelilingi laut. Mau ngapain liburan lihat laut lagi?” Hahaha ...  bener juga. Dan saya pun faham mengapa setiap pantai yang saya kunjungi di Nias selalu saja terlihat sepi. Lah, setiap hari juga mereka sudah ‘rekreasi’ lihat laut kok!

Bersambung lagi ke Laporan Perjalanan hari terakhir - #Day3.

Komentar

keluarga Qudsy mengatakan…
aku gak tega lihat kondisi di dalam rumah aslinya Oprianus.

Btw aku masih kebayang muka lurus tanpa ekspresi nya bocah kecil bernama Musyawarah :)
Iwok mengatakan…
oh iyaaa ... hahaha Musyawarah kocak banget. digodain mati-matian, tetep aja mukanya lempeng nggak berubah. malah kitanya yang mati kutu, bingung gimana lagi cara bikin dia buka mulutnya. hahaha
nenglita mengatakan…
Interupsi, mas! Pantainya Fofola namanya :D

Btw, ini harusnya dipos di blogpost sebelumnya: CURANG DAPET PAS MUSIM DUREN!
Iwok mengatakan…
Mba Lita, hiyaaa ... salah ya. oke noted; FOFOLA. dengan ini kesalahan sudah diperbaiki. hihihi ..

Hahaha .. we were so lucky, musim duren memang sangat menyenangkan! :))

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban Itu Ada; Bocil Sembuh dari Panleukopenia

Digitalisasi Usaha untuk Bertahan di Masa Pandemi

[Tips Menulis] Ketebalan Sebuah Naskah Novel?