Nias Trip, Wafer Tango #HandinHand ~ #Day1

Selasa (29/10) pukul 9 malam, saya bergegas ke terminal bus Tasikmalaya. Pundak saya menggendong ransel, sementara tangan saya menenteng sebuah travel bag besar yang dijejali tidak kurang dari enam puluhan judul buku dan beberapa buah boneka. Tidak biasanya saya pergi ke luar kota dengan tentengan ‘berat’ semacam itu. Kali ini lain, besoknya saya akan terbang ke Nias, bergabung dengan tim Tango #HandinHand untuk berbagi dengan anak-anak Nias. Buku dan boneka-boneka itu adalah ‘kado’ saya dan teman-teman untuk mereka. Karena itu, seberat apapun, saya tetap akan membawanya.


Ya, saya sangat beruntung berhasil menjadi salah seorang pemenang dalam lomba sharing competition yang diselenggarakan oleh WaferTango. Sebagai hadiahnya, saya bersama dua orang pemenang lainnya akan diterbangkan menuju Nias, sebuah pulau nan indah di ujung utara pulau Sumatera. Bukan untuk rekreasi biasa, tapi untuk melaksanakan sebuah misi berbagi untuk kemanusiaan. Dan target kita adalah Anak-anak Nias yang membutuhkan.

Tasikmalaya – Jakarta bukanlah sebuah perjalanan singkat. Meski flight keberangkatan saya pada pukul 8 pagi, tapi 11 jam sebelumnya saya sudah meluncur menuju Jakarta. Saya tidak mau ambil resiko ada kendala yang menghambat perjalanan saya menuju bandara. Agenda #NiasTrip ini benar-benar sudah bergelung di dalam kepala sejak pengumuman pemenang lomba. Rasanya tidak sabar untuk segera terbang menuju Nias, bertemu dengan anak-anak Nias, dan ikut serta dalam program Tango berbagi. Apalagi Nias akan menjadi bagian Indonesia paling jauh yang akan saya kunjungi. Karena itulah antusiasme saya begitu meluap-luap.

Pukul 3.30 dini hari, saya sudah tiba di Terminal Kampung Rambutan. Fyuuuh ... syukurlah. Jalanan malam itu sangat lancar. Tanpa menunda waktu, saya langsung melompat ke dalam bus bandara (DAMRI). Akan lebih nyaman kalau saya menunggu di bandara ketimbang nanti terbirit-birit mengejar waktu. Benar saja, pukul 4.30 saya sudah tiba di Soekarno Hatta. Masih cukup banyak waktu untuk istirahat dan meluruskan punggung setelah beberapa jam sebelumnya harus terpenjara dalam kursi bus. Sambil menunggu meeting time dengan rombongan lain pada pukul 6, saya menyempatkan diri untuk cuci muka, gosok gigi, ganti baju, lalu salat Subuh di mushola luar Terminal 1B. Segaaaar. Eh, nggak mandi? #pssssttt.

Mulai pukul 6, satu per satu rombongan bermunculan. Mba Fani (Brand Manager Tango), Mba Yuna Kristina (PR Manager Tango), Mas Liem (Sosmed Tango), Mas Anto (OBI), Mba @JustSilly, Adisty (@mommiesdaily), Dwiyani Arta dan Ruth Wijaya (dua pemenang lomba). Oya, ada dua lagi peserta rombongan dari media, yaitu mas Iwan (Suara Pembaharuan), dan mas Dede (Okezone). Lengkap. Let’s go!
Terbang bersama Lion Air sampai ke Kualanamu Airport

Lion Air (seperti biasa) delay sekitar 30 menitan. Karena itulah, setibanya di bandara Kualanamu Medan, kita malah ketinggalan connecting flight ke bandara Binaka, Gunung Sitoli Nias! Hiyaaaa .... seharusnya kita terbang ke Nias pukul 11.30, akhirnya harus nunggu pesawatnya balik lagi dari sana. Tapi gara-gara delay, saya akhirnya bisa menikmati suasana bandara Kualanamu dulu. Kapan lagi kan bisa nginjek kaki di Medan? Berhubung bandara ini baru (sebelumnya di Polonia), tentu saja kondisinya masih serba fresh dan megah. Tapi karena masih baru itu pula, pembangunannya ternyata belum selesai semua. Bagian di depan gate 9-12 masih terlihat berantakan karena sedang dibenahi.

Sekitar pukul 14 lewat sekian, Wings Air yang akan membawa kita ke Nias tiba. Yihaaa ... mari kita kemon! Jujur aja, ini adalah kali pertama saya naik pesawat yang berbaling-baling. Ada perasaan deg-degan juga (sekaligus excited), mengingat pesawat ini jauh lebih kecil dibanding pesawat yang pernah saya naiki sebelumnya. Kapasitas Wings Air ini adalah 72 penumpang. Karena kecil, pramugarinya pun cukup 2 orang saja. Yang unik, tempat bagasi ada di bagian depan (belakang kokpit), dan semua penumpang naik dari pintu ekor. Seru! Ini adalah sebuah pengalaman baru.

Pengalaman pertama naik pesawat berbaling-baling
Perjalanan dari Kualanamu menuju bandara Binaka hanya 50 menit saja. Jelas sangat menghemat waktu cukup banyak, karena ... kalau kita lewat darat dilanjutkan naik kapal laut, jarak tempuh menuju Nias dari Medan bisa memakan waktu 22 jam! *gubrags*

Cuaca cerah. Penerbangan tidak seperti yang saya takutkan sebelumnya. Naik pesawat berbaling-baling ternyata sama saja. Apalagi karena kecapean dan kurang tidur malam sebelumnya di bus, saya bisa pulas sepanjang penerbangan singkat ini. Hehehe. Dan 50 menit kemudian tibalah kita di bandara Binaka, Gunung Sitoli Nias. Ya’ahowu!
Ya'ahowu! Welcome to Nias

Plong rasanya. Perjalanan panjang saya dari rumah akhirnya tiba dengan selamat sampai di Nias. Kita dijemput oleh tim OBI (Yayasan Obor Berkat Indonesia) yang dipimpin oleh mas Bigke dengan 3 kendaraan. Langsung meluncur menuju Posko OBI di Jl. Dipenogoro Km. 6 Fodo, Gunung Sitoli, Nias. Karena tahu semua rombongan kelaparan, akhirnya kita makan siang bareng dulu. Horeee .... #eh *jitak. Malu-maluin!*. Setelah itu, baru deh Mba Yuna memberikan briefing singkat mengenai program kegiatan #HandinHand ini dan itinerary kita selama 3 hari ke depan.

Wafer Tango dan Yayasan OBI sudah bekerja sama sejak tahun 2010 untuk program sosial di Nias melalui kegiatan Tango Peduli Gizi. Kegiatan pada tahun 2010 terdiri dari dua aktivitas besar yaitu Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dengan gizi seimbang kepada 526 anak umur 6 bulan hingga 12 tahun, serta Balai Pemulihan Gizi (BPG) berupa perawatan intensif terhadap 72 anak dengan gizi buruk.

Briefing singkat ttg Tango Peduli Gizi

Sementara untuk tahun 2011-2012, Tango Peduli Gizi dititikberatkan pada program pemberdayaan ekonomi, perbaikan sanitasi dan pendampingan masyarakat Nias. Hal ini dilakukan agar keluarga Nias dapat mempertahankan kondisi kesehatan dan status gizi anak yang telah pulih setelah mengikuti program TPG 2010. Salah satu bentuk program pemberdayaan ekonomi ini adalah dengan memberikan bantuan dan bimbingan budi daya lele, ayam, babi serta penanaman sayuran di lahan sekitar rumah. Selain hasilnya dapat diperjualbelikan dan meningkatkan pendapatan keluarga, juga dapat dinikmati untuk perbaikan gizi keluarga.

Mayoritas keluarga peserta PMT ini tidak memiliki pekerjaan yang memadai untuk menyokong perekonomian keluarga. Mereka bekerja sebagai buruh penyadap karet atau dari hasil panen kakao yang tidak banyak (hanya mengandalkan satu-dua buah pohon kakao yang tumbuh begitu saja di lahan mereka). Karena itu, pemberdayaan ekonomi masyarakat seperti budi daya lele, ayam, babi, dan sayuran ini diharapkan dapat berjalan dengan baik. Mereka tidak bisa menggantungkan hidup dari bantuan sosial terus menerus. Dan itulah yang diharapkan oleh Tango, masyarakat Nias bisa hidup lebih mandiri.

Bantuan-bantuan yang dikelola oleh OBI

Program ini dinilai cukup berhasil karena melalui program ini, setiap keluarga mendapatkan penghasilan tambahan rata-rata 1,2juta rupiah setiap bulannya. Tentu ini menjadi peningkatan penghasilan yang cukup signifikan bagi peserta PMT. Selain itu, dengan bimbingan edukasi rutin dan pengawasan ketat, pola hidup keluarga pun jauh lebih bersih dan sehat. Anak-anak pun mengalami kenaikan berat badan sekitar 3kg setiap bulannya.

Tahun 2013 program Tango bergerak ke arah yang lebih luas, yaitu mengadopsi sebuah desa di Nias, yaitu desa Banua Gea. Desa ini terdiri dari 6 dusun dengan jumlah penduduk sekitar 2.938 jiwa dari 647 kepala keluarga. Pemilihan Banua Gea sebagai desa adopsi tentu bukan karena alasan. Sodania Gea, kepala desa Banua  Gea menyampaikan, "Minimnya penghasilan rata- rata keluarga serta keterbatasan waktu dan pengetahuan ibu, kebutuhan gizi anak tentu tak tercukupi. Belum lagi kondisi sarana kesehatan yang jauh dan minim fasilitas menambah jumlah kasus malnutrisi di desa ini," paparnya.

Budi daya lele dan bertanam sayuran di lahan sekitar rumah

Menurut Yuna Kristina selaku PR Manager Tango, Program Adopsi Desa 2013 ini dirancang untuk menyentuh multidimensi agar hasilnya lebih maksimal. Diharapkan melalui program ini anak- anak desa Banua Gea dapat meningkat status gizinya dan selanjutnya masyarakat di sana memiliki kesadaran tinggi dan mandiri akan kecukupan gizi generasi mendatang.

Program adopsi desa ini terdiri dari beberapa sub program, yaitu :
  1. Home Visit, yaitu pemulihan anak gizi buruk dengan metode mendatangi rumah secara berkala untuk pemulihan gizi serta penyembuhan penyakit penyerta;
  2. Renovasi Rumah Sehat Tango, yaitu renovasi rumah dengan titik berat pengadaan sanitasi dan ventilasi untuk kesehatan yang lebih baik;
  3. Pemberian Makanan Tambahan untuk anak berstatus gizi kurang selama 3 bulan;
  4. Pendampingan, penyuluhan gizi serta pola hidup sehat untuk ibu dan anak.
  5. Pemberdayaan Masyarakat yaitu menyediakan lahan serta pendampingan penyuluhan teknologi tepat guna bahan makanan seperti ternak dan sayuran. Hasil pemberdayaan ini digunakan sebagai pendukung pemberian makanan bergizi untuk anak- anak desa Banua Gea;
  6. Renovasi serta pemberian alat kesehatan bagi Pusat Pembantu Kesehatan Masyarakat (Pustu), termasuk dalam program ini adalah pendampingan, penyuluhan serta pemberian motivasi bagi tenaga kesehatan di daerah tersebut.


Lalu, siapakah OBI ini? OBI adalah Yayasan Obor Berkat Indonesia yang bergerak di bidang kemanusiaan. Selama ini Tim OBI lah yang melaksanakan langsung program Tango di lapangan, termasuk sebagai partner dalam pengevaluasian program yang berjalan dan penyusunan program selanjutnya. Melihat langsung apa yang sudah dihasilkan, Tango dan OBI adalah partner yang sangat hebat!

Waktu terus berjalan. Karena jadwal yang sudah mulur akibat keterlambatan penerbangan, kita segera bersiap untuk menuju destinasi yang pertama, yaitu kunjungan ke rumah Brian Harefa. Tidak ada waktu untuk leyeh-leyeh dulu karena kita ke Nias bukan untuk berlibur. Jadwal sudah disusun, dan kita ingin semuanya berjalan seperti apa yang direncanakan. Apalagi semangat seluruh rombongan tampak sangat menggebu.

Siapakah Brian Harefa ini? Dia adalah salah seorang anak yang terkena gizi buruk pada tahun 2010. Berkat penanganan intensif dari tim TPG, akhirnya Brian (dan juga puluhan anak bergizi buruk lainnya) dapat terselamatkan.  Perjalanan dari posko OBI menuju rumah Brian Harefa ditempuh selama 45 menit. Saya mengenal Brian dari foto-foto dan videonya yang menggenaskan di youtube. Ada haru yang seketika meleleh saat diberi kesempatan bertemu saat itu. lihatlah anak itu sekarang!



Bertemu Brian Harefa yang sudah sehat!


Rumah Brian Harefa tiba-tiba saja menjadi ramai. Bukan saja oleh rombongan Tango yang baru datang, tapi juga oleh kunjungan anak-anak di daerah tersebut. Mendapat kunjungan tamu dari luar (apalagi berkendaraan lengkap) adalah sesuatu yang langka, sehingga kehadiran kami pun menjadi pusat perhatian tersendiri. Apalagi kemudian Tim Tango membuat ‘keributan’ dadakan. Acara bernyanyi bersama, bagi-bagi hadiah, menyedot kedatangan masyarakat semakin banyak. Untungnya kami membawa cukup banyak mainan, sehingga setiap anak mendapatkan kebahagiaan yang sama. A simple way to make them smile.

Keramaian dadakan di rumah Brian Harefa

Sayangnya waktu harus terus berjalan. Sekitar 30 menit di rumah Brian, kami harus melanjutkan perjalanan menuju kediaman Krisman Waruwu, sekitar 45 menit dari rumah Brian. Krisman Waruwu adalah penderita gizi buruk lainnya, dan sempat terkena penyakit Tuberkulosis sehingga pertumbuhan tubuhnya agak terlambat. Berkat perawatan intensif dari TPG, Krisman sekarang sudah sembuh total dan sudah bersekolah di kelas 2 SD.

Yang membuat saya semakin haru, keluarga Krisman Wawuru sangat terbuka terhadap pembinaan dan pemberdayaan masyarakat. Dulu mereka tinggal di sebuah rumah kayu kecil. Sekarang mereka memiliki warung yang cukup lengkap dan rumah permanen (bertembok) yang lebih luas dan nyaman. Perubahan itu memang terbuka luas bagi mereka yang memiliki niat yang sangat kuat. Mereka salah satu buktinya.

Krisman Wawuru (baju kuning) bersama Bu Fani (Brand Manager Tango)

Saya memang tidak mengikuti kisah Brian, Krisman, dan anak-anak Nias yang tidak beruntung lainnya dari awal. Tetapi, hari itu saya melihat ada warna baru dalam rona wajah mereka, raut kebahagiaan dan optimisme menyongsong hari esok. Dan sudah seharusnyalah seperti itu. Anak-anak tidak semestinya mengisi hari dengan kesedihan dan tangisan, tapi dengan senyum dan keceriaan. Tidak berlebihan kalau saya mengucapkan terima kasih banyak untuk Tango (dan OBI) karena sudah mengembalikan senyum mereka, saudara-saudara kecil kita di Nias.

Seperti kata Tetsuya Kuronayagi; “Kita tidak dilahirkan untuk saling membenci, kita dilahirkan untuk saling mengasihi.”

Matahari di Nias sudah semakin turun. Saatnya kami pulang dan beristirahat di hotel Soliga. Esok hari ada kegiatan lebih besar dan seru yang harus kami laksanakan. Tunggu ceritanya besok!

Bersambung ke hari #2

Komentar

Fita Chakra mengatakan…
Ah, terharuuu... *usap air mata
keluarga Qudsy mengatakan…
oalah...jadi gak mandi to? hahaha... *lost fokus*

Keren bgt tulisannya mas... Emang beda yaa tulisan seorang penulis buku dg tulisan abal abal emak macam aku :)
Iwok mengatakan…
@Fita - indahnya berbagi. Makasih buku-bukunya ya, sudah sampai ke mereka dengan selamat :)

@Mba Yani - hahaha ... bisa aja. blog itu kan ekspresi kita masing-masing mba, jadi ngga perlu terbebani nulisnya. Hayuk ngeblog teruuus :D
nenglita mengatakan…
Seruuu ceritanya *brb bacain cerita di hari2 berikutnya*
Iwok mengatakan…
Terima kasih sudah mampir mba Lita ^^

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban Itu Ada; Bocil Sembuh dari Panleukopenia

Digitalisasi Usaha untuk Bertahan di Masa Pandemi

[Tips Menulis] Ketebalan Sebuah Naskah Novel?