Harmonikaku - Part 16



Bab 16

Pergulatan Hati

Aku meraih harmonikaku dari dalam saku jaket yang melekat di tubuhku. Udara malam Bandung semakin dingin menggigit, dan membuat badanku menggigil. Aku tidak pernah terbiasa dengan dingin meski sudah bertahun-tahun tinggal di kota ini. Ristleting jaket kutarik ke atas, membiarkan jaketku menutup rapat seluruhnya sampai leher, sebelum aku mulai mendekatkan harmonika ke bibirku.

Udara pun terhembus perlahan dari bibirku, menyelusup relung-relung harmonika dan menjeritkan nada-nada pilu. Entahlah, nada-nada pilu itu keluar begitu saja tanpa sempat terpikirkan. Aku tidak punya pilihan. Hatiku yang memilih untuk bersenandung, bukan bibirku, menyanyikan sebuah alunan lagu sendu. Lagu tentang arti sebuah kehilangan.

Pada saat seperti ini, aku tidak bisa memilih nada yang ingin kumainkan. Kubiarkan hatiku memilih nada, meski alunan itu semakin lama semakin terasa pilu. Setidaknya buat aku, yang mulai merasakan tetesan hangat mengalir dari sudut mataku.

Tes! Setetes air hujan terbang terhembus angin, dan jatuh di keningku. Dingin.

Wajahku menengadah, melemparkan pandanganku pada langit malam yang kelam. Harmonika kujauhkan dari bibirku, membiarkan lagu sendu itu menggantung dan malam kembali sunyi. Lihatlah, ujarku dalam hati, tetesan air hujan mulai turun satu demi satu dari langit, seolah ingin menemani air yang mengalir pelan dari sudut mataku. Malam ikut menangis bersama hatiku. Menangisi kepergian Bapak.

Tiba-tiba aku kangen Bapak. Biasanya, aku dan Bapak akan menghabiskan malam yang dingin seperti ini dengan bercengkerama di beranda rumah kami yang sempit. Bangku kayu tua yang sudah lapuk, yang sedang aku duduki ini, menjadi saksi malam-malamku bersama Bapak, membicarakan segala hal yang kami lalui sesiang sebelumnya.

”Bagaimana jualan rujakmu tadi siang, laku?” tanya Bapak, dengan kaki terangkat ke atas bangku, menghindari dingin yang menular dari tembok teras ke kakinya.

Pertanyaan retoris, pikirku. Harusnya dengan melihat gerobakku pulang kosong, Bapak tahu bagaimana jualanku. Tapi itulah pertanyaan yang bisa Bapak ajukan. Dengan nilai-nilai terbaik hasil dari kuliahku selama ini, sepertinya Bapak tidak perlu mempertanyakannya lagi. Bapak percaya aku bisa mengurus pendidikanku tanpa campur tangannya. Beda dengan jualan rujak yang sedikit banyak akan mempengaruhi ’makan apa kita esok’.

Ya,” jawabku sambil mengangguk. Jawaban standar yang selalu kusampaikan atas pertanyaannya; ”Hari ini kita bisa menabung lagi untuk pengobatan Ibu.”

Dan Bapak akan menatapku sendu setelah itu. ”Maafkan Bapak, Ta. Seharusnya kamu dan Ibumu tidak mengalami penderitaan seperti ini.”

Lagi-lagi aku akan mengerang. ”Sudahlah Pak, sudah Ita bilang kalau Bapak tidak perlu menyesali apa yang sudah pernah terjadi. Yang harus kita pikirkan adalah masa depan, dan kesembuhan Ibu. Melihat terus ke belakang hanya akan membebani pikiran Bapak terus-menerus.

”Tapi ... ” potong Bapak.

”Tidak ada tapi, Pak.” aku menggelengkan kepala, berharap Bapak tidak melanjutkan pembahasan ini. Aku tahu Bapak sudah menyesali perbuatannya, dan sudah, tidak perlu dipermasalahkan lagi. Manusia tidak akan maju kalau terus melihat ke belakang.

Malam ini, aku merindukan pertanyaan retoris Bapak.

Ah, kepergian Bapak membuat diriku merasa goyah. Baru kali ini aku merasa takut apa yang harus kami lalui esok. KAMI, karena akan ada Ibu yang menjadi beban pikiranku. Dulu aku sedikit merasa tenang karena ada Bapak. Setelah Bapak tiada sekarang, siapa yang akan menjaga Ibu? Benarkah aku siap untuk mengundurkan diri dari perusahaan seperti yang aku katakan terhadap Panji? Sejujurnya aku khawatir, kalau sampai aku berbuat demikian, bagaimana dengan pengobatan Ibu? Darimana aku bisa mendapatkan uang? Membawa ibu menuju dunia kesadaran yang seharusnya tidaklah murah.

Kecemasanku membuat aku tidak bisa berpikir jernih. Aku kalut. Aku mencoba tegar di hadapan setiap orang, di depan keluarga besar Wibisono yang terhormat. Aku tidak ingin mereka memandang rendah diriku dan Ibu. Kami masih punya harga diri. Tapi jauh di lubuk hatiku, aku rapuh. Aku belum siap ditinggal Bapak.

Ah, apakah Ibu juga merasakan kekhawatiran yang sama? Sore tadi Ibu membuatku takut. Berbulan-bulan tidak bisa menemaninya membuatku ingin selalu bersamanya. Aku ingin berbagi kesedihan sepeninggal Bapak. Tapi aku bingung ketika mendapati Ibu terbaring dengan mata melotot. Nafasnya tersenggal dan peluh membanjiri tubuhnya yang ringkih. Dia menatapku dengan pandangan yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Ibu?” aku bergegas mendekat. Kurengkuh bahunya lembut, tapi Ibu mengibaskan tanganku.

”Ibu, ini aku, Ita!”

Ibu berontak. Tangisnya tiba-tiba meledak keras. Dia menepiskan lenganku yang berusaha memeluknya. Aku tidak mau mengalah. Kupeluk tubuh Ibu sekuatnya, dan kubiarkan dia meronta-ronta dalam dekapanku. Ibu meraung-raung. Sesekali dia juga terbahak dalam tangisnya.

Ah, Ibu, apa yang sedang Ibu rasakan sekarang dalam duniamu? Kesedihan kah? Atau, kepuasan, karena laki-laki yang sudah menyakitimu telah hilang bersatu dengan tanah? Ibu, kembalilah ke duniaku, ketika menangis hanya karena ada rasa duka dan tersenyum ketika kita merasakan bahagia. Aku tidak mengerti semua rasa dan emosi yang hidup dalam duniamu. Aku sungguh tidak mengerti, Bu.

Aku sayang, Ibu. Hanya Ibu yang satu-satunya yang aku miliki sekarang.” aku terisak. Hanya itu yang sanggup aku katakan. Perlahan tubuh Ibu merosot dari dekapanku. Kubaringkan dia, dan kuhapus basah air matanya.

Malam makin dingin. Gerimis masih turun. Aku masih duduk di beranda, di atas sebuah bangku kayu butut tempat biasa aku bercengkerama dengan Bapak. Kudekatkan lagi harmonika yang masih ada dalam genggamanku pada bibirku. Sekali lagi, nada-nada pilu itu beralun lamat-lamat, membelah malam yang kian pekat.

***

Lelaki itu berdiri tegak di hadapannya. Dia bahkan tidak perlu duduk dulu untuk menyampaikan maksud kedatangannya. Begitu Ita membuka pintu rumah yang diketuknya, ucapan itu langsung keluar dari bibirnya, dan hal itu membuat Ita tersurut mundur beberapa langkah, memegang sandaran kursi dan menjatuhkan tubuhnya di bantalan kursi yang sudah tidak lagi empuk.

Perempuan itu menatap Panji dengan terbelalak. ”Kamu ngomong apa, Mas?”

”Kamu sudah mendengar jelas kata-kataku, Ta. Aku ingin melamarmu!” Panji melangkah masuk, dan duduk di seberang perempuan itu.

”Untuk apa?” kerongkongan Ita tersekat.

Panji tersenyum. Dia maklum, dia terlalu terburu-buru menyampaikan maksudnya. Bahkan sebelum Ita mempersilakan masuk tadi. Wajar saja kalau perempuan itu merasa shock. Tapi semua sudah tidak perlu lagi ditunda, Panji ingin menyampaikan maksudnya secepat mungkin. Semua sudah dipikirkannya matang-matang semalaman.

Sebuah lamaran yang jauh dari romantis. Tapi Panji tidak perduli. Dia tahu Ita bukan tipe perempuan melankolis yang harus disodori setangkai bunga terlebih dahulu sebelum mengucapkan kalimat itu. Semakin cepat semakin baik. Masa bodo dengan romantisme! Dia ingin menuntaskan semua pergulatan perasaannya selama ini. Panji ingin sebelum masa cutinya habis, dia sudah memiliki kepastian terhadap perasaan Ita terhadapnya. Dia tidak ingin waktu dan jarak akan membuat semuanya terentang jauh lagi. Dia yakin Ita juga masih memiliki perasaan yang sama seperti yang dimilikinya bertahun-tahun ini. Kalaupun tidak harus menikah dalam waktu dekat ini, mereka bisa bertunangan terlebih dahulu. Toh banyak hal yang harus dipersiapkan sebelum hal itu terjadi.

”Ita, kamu bukan anak kecil yang tidak mengerti apa maksud seorang laki-laki melamar seorang perempuan,” senyumnya. ”Tentu saja untuk menjadi istriku.”

Ita menggeleng-gelengkan kepalanya perlahan. Matanya menyorot tajam ke arah lelaki itu. ”Secepat ini?”

Secepat ini?” Panji melongo dan balik bertanya. ”Ita, aku sudah mengenalmu sejak bertahun lalu. Bukan waktu yang singkat untuk mengambil keputusan seperti ini, karena seharusnya aku sudah mengatakannya dari dulu! Aku tidak mau lagi bermain-main dengan hatiku. Tidak ada yang bisa menghentikan rasa cintaku terhadap kamu mulai dari sekarang. Tidak siapapun.”

Ita merapikan anak rambut yang berjatuhan di keningnya. Dia menegakkan duduknya, lalu menarik nafas dalam.

Kapan kamu kembali ke Jogja, Mas? Cutimu masih lama?”

Panji menatap Ita dengan perasaan jengkel. ”Aku kembali ke Jogja dua hari lagi. Puas? Dan sekarang, jangan coba mengalihkan pembicaraan lagi! Aku menunggu jawabanmu.”

Tidak semua pertanyaan membutuhkan jawaban, Mas,” elak Ita cepat. ”Dan kalimatmu tadi bukanlah sebuah pertanyaan.” Dadanya terasa bergemuruh. Kamu datang pada saat yang salah, Panji! Keluh hatinya. Aku masih berduka. Tanah makam Bapak masih merah dan basah. Baru dua hari yang lalu Bapak mendiami rumah barunya. Lebih dari itu, banyak hal yang berputar di kepalanya saat ini.

Panji menarik nafasnya panjang. ”Baiklah, aku ulangi lagi kalau kamu membutuhkan sebuat pertanyaan. Aku melamarmu, Dewi Paramita. Maukah kamu menjadi istriku?”

Ita bergeming. Goyah.

Katakan, kenapa kamu melakukan hal ini? Melamarku.” Ita menegakkan kepalanya. Sedapat mungkin dia berusaha menahan agar matanya tidak tergenang basah.

Jangan membuatku kesal, Ita. Apa maksudmu dengan bertanya seperti itu?” Wajah Panji sedikit memerah. Dia tidak mengerti, kenapa Ita berubah seperti ini.

Lihat, masihkah kamu berminat terhadap perempuan yang sudah membuat hatimu kesal? Mungkin kamu belum mengenal sepenuhnya perempuan di depanmu ini, Mas. Pikirkan baik-baik.”

Hati Ita menjerit setelah mengucapkan kalimat itu. Maafkan aku, Panji. Kalau saja situasinya tidak seperti ini, mungkin akan berbeda pula sambutanku terhadapmu. Tidakkah kamu melihat keadaanku? Aku tidak ingin menikahiku akan berubah menjadi mimpi burukmu.

Panji tertunduk di kursinya. Dia masih tidak mengerti dengan Ita. Kepalanya menggeleng-geleng lemah, seolah menjadi ekspresi bingungnya. Tangannya meremas kuat rambut belakangnya, membiarkan sunyi membelit siang itu.

Ita menarik nafas dalam. Debaran dadanya masih sulit untuk diredakan. Kalau saja Panji tahu itu.

”Tolong jangan memaksaku untuk menjawabnya sekarang, Mas. Aku hanya ingin memikirkan Ibu saat ini,” kata Ita melunak. Dia merasa tidak fair membiarkan lelaki ini kebingungan sendiri dengan setiap perkataannya.

Panji mendongak. ”Menikahlah denganku, dan biarkan aku ikut membantu memikirkan Ibumu juga. Aku berjanji aku akan menyayanginya sebagaimana kamu menyayangi dia.”

Ita mengerling. Kerutan alisnya meminta Panji untuk menjelaskan lebih lanjut.

Aku kenal seorang psikiater bagus. Dia bekerja di sebuah klinik perawatan orang-orang yang memiliki gangguan kejiwaan di Bandung ini. Kita bisa menitipkan Ibu untuk dirawatnya di tempat itu.”

Aku tidak mau membuang Ibu!” Ita meledak. Dia sudah menduga Panji akan mengusulkan hal itu, membuang Ibu! ”Jadi kamu ingin agar kita menikah, hidup berdua penuh kebahagiaan dengan cara menjauhkan Ibu dariku? Kamu salah kalau menginginkan hal itu, Mas. Itu tidak akan terjadi.”

Demi Tuhan, dengar dulu Ita!” Panji tidak mengira kalau Ita akan seemosi itu mendengar pemikirannya. ”Aku tidak pernah berpikiran akan menjauhkan Ibu dari kamu. Aku tahu kamu sangat mencintai Ibumu, tapi apakah kamu tidak ingin melihat Ibu sembuh?”

”Tapi ...”

Selama ini Ibu hanya menjalani rawat jalan. Itupun hanya sesekali kamu membawanya periksa ke dokter. Ya, kan?”

Ita mendelik. Ya, seandainya uang bisa dipetik di halaman rumah! Dengus hatinya. Begitu gampangnya seorang yang bergelimang uang ngomong hal seperti itu. Selama ini dia harus bekerja keras untuk mencari biaya pengobatan Ibu.

Pengobatan Ibu harus berkesinambungan, Ta. Setiap hari dokter harus menganalisa kondisi mental Ibu, agar bisa dipastikan penanganan lebih lanjut.” Panji bangkit dari duduknya, lalu berjalan dan duduk di samping Ita. ”Buang jauh-jauh pikiran aku ingin menjauhkan Ibu dari sisimu. Bukahkah kesembuhan Ibu akan lebih mencerahkan hidupmu?”

Cukup Mas, aku tidak ingin membahas soal ini lebih jauh lagi.” Ita mengangkat tangan kanannya, memberi isyarat agar Panji menghentikan omongannya.

”Ita, ini demi kebaikan ...”

Cukup Mas!” Ita menatap tajam. Semakin pembicaraan ini diteruskan, semakin pergulatan hatinya bergelora semakin dalam. Dia belum siap untuk ini. Dia masih butuh menenangkan hatinya lebih lama sebelum pembicaraan ini dilanjutkan. Biarlah untuk sementara dia mencerna apa yang baru saja terjadi di ruangan ini. Tentang lamaran, dan tentang Ibu.

”Maafkan aku, mungkin aku datang pada saat yang tidak tepat. Pikirkanlah semuanya dengan jernih. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa semua ini aku lakukan karena rasa sayangku. Ah, tentang lamaran itu, jangan berpikir kalau aku akan memaksamu untuk menerimaku, Ta. Aku cukup bahagia kalau kamu bahagia, keputusan apapun yang kamu ambil.”

Panji bangkit dari duduknya. Dia sempat mengelus kepala Ita sekilas, sebelum dia melangkah menuju pintu. ”Aku pulang dulu. Cepat atau lambat aku akan datang lagi menagih jawabanmu.”

Ita memperhatikan lelaki itu melangkah lunglai keluar pintu rumahnya tanpa menoleh lagi. Terus, sampai menghilang di ujung gang. Saat itu baru disadarinya matanya sudah membasah.

***

Dua hari sebelumnya, di sebuah rumah mewah di kalangan pemukiman elit. Deny Dananjaya tersentak dari duduknya. Matanya melotot membaca berita di halaman pertama surat kabar yang dibacanya. Tanpa menyelesaikan bacaannya, dia melipat asal koran itu, dan bergegas menuju ruang tengah.

”Ibu! Ibu harus baca ini!” teriaknya sambil mempercepat langkahnya menuju seorang perempuan tua yang berayun pelan di kursi goyangnya, di samping jendela yang terbuka lebar. Matanya menatap ke luar jendela, ke arah taman bunga yang terhampar asri di taman samping.

Perempuan itu menoleh kaget. Matanya mengernyit. ”Tidakkah kamu bisa lebih sopan sedikit ketimbang berteriak-teriak seperti itu, Deny!” hardiknya.

”Ibu harus baca ini!” Deny Dananjaya menyerahkan koran yang dipegangnya ke pangkuan perempuan itu, lalu menunjuk headline utama koran itu.

SALAH SASARAN. PENGACARA HENGGAR LINTANG SELAMAT!

Ada apa dengan berita ini? Kriminalitas memang meninggi belakangan ini. Bukan hal yang aneh, kan?” perempuan itu mengerutkan keningnya, membaca judul artikel itu dan beberapa paragraf pertamanya.

”Henggar Adibroto! Tidakkah Ibu mengenal nama itu? Lelaki itu terbunuh semalam!”

Perempuan tua itu tersentak. Dalam sekejap nama itu sudah membawanya ke masa silam.

***


bersambung ...
Baca keseluruhan ceritanya di sini

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban Itu Ada; Bocil Sembuh dari Panleukopenia

Digitalisasi Usaha untuk Bertahan di Masa Pandemi

[Tips Menulis] Ketebalan Sebuah Naskah Novel?