[Review] Alternatif Definisi (anak) Perempuan oleh Kinanti dan Rembulan
Senangnya novel saya [Sepeda Onthel Kinanti dan Menggapai Rembulan] mendapatkan tinjauan khusus dari Agnes Bemoe mengenai karakterisasi tokoh-tokohnya, yang kebetulan keduanya adalah tokoh anak perempuan; Kinanti dan Rembulan. Ulasan mba Agnes untuk novel-novel ini membuat saya semakin bersemangat untuk menulis lagi kisah-kisah anak Indonesia, dengan segala konflik dan permasalahan yang dihadapinya, karena saya yakin sosok Kinanti dan Rembulan masih banyak ditemukan di tengah masyarakat Indonesia.
Semoga Kinanti dan Rembulan bisa membangkitkan kembali semangat anak-anak Indonesia untuk maju terus dalam menggapai cita-citanya, dan bersinar dari segala keterpurukan yang pernah dikecapnya. Aamiin.
---------------------
ALTERNATIF DEFINISI (ANAK) PEREMPUAN OLEH KINANTI DAN REMBULAN
Telaah Sederhana terhadap Novel “Sepeda Ontel Kinanti” dan “Menggapai Rembulan” Karya Iwok Abqary.
Ada banyak hal dalam dua buah novel anak karya Iwok Abqary (Ridwan Abqary) ini yang menarik perhatian saya: kemiskinan struktural, karakter tokoh utamanya, serta masalah konversi alam (dalam hal ini penyu laut). Dalam tulisan ini saya ingin membahas tentang karakter tokohnya, dua orang anak perempuan, masing-masing Kinanti dalam “Sepeda Ontel Kinanti” dan Rembulan (Bulan) dalam “Menggapai Rembulan”. Karakter kedua tokoh ini akan saya hubungkan dengan realitas yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
DEFINISI (ANAK) PEREMPUAN DI INDONESIA
Menurut Widyastuti Purbani dalam makalahnya yang berjudul “Ideologi Gender dan ‘Imperialisme’ dalam Media Massa Anak” budaya masyarakat Indonesia adalah budaya patriarki. Tata pola kehidupan berjalan atas satu sudut pandang, yakni sudut pandang laki-laki.
Dari makalah yang sama diperoleh data bahwa sebagian besar cerita anak pada sebuah majalah anak-anak terpopuler di Indonesia menampilkan ideologi gender dengan relatif timpang. Femininitas tradisional dilestarikan melalui penggambaraan karakter yang domestis, kurang berdaya, dan bergantung kepada laki-laki.
Berikut adalah perincian karakter perempuan/anak perempuan dalam cerita-cerita di majalah tersebut:
• Mereka hampir tak bersuara.
• Mereka menempati wilayah yang terlindungi
• Mereka pasif
• Mereka bukan bintang bahkan di wilayahnya sendiri
• Mereka lemah
• Mereka bergantung
• Mereka tidak cerdas
• Mereka statis
• Mereka tak memiliki kekuatan tawar
• Mereka kurang berkuasa/atau bila ya kekuasaannya semu dan tidak menantang
• Mereka banyak terlibat pada kegiatan domestis
• Citra yang dibangun adalah citra lembut dan rapih
KARAKTER KINANTI DAN BULAN BERHADAPAN DENGAN REALITAS
Sebuah naskah bisa jadi berupa penggambaran realitas yang ada. Naskah adalah representasi pola pikir yang sedang berkembang di masyarakat. Namun di lain pihak, sebuah naskah bisa menjadi arena untuk menawarkan alternatif lain terhadap suatu hal.
Seperti yang disinggung dalam makalah tulisan Widyatuti Purbani di atas, yang berkembang dalam masyarakat kita adalah pemikiran bahwa perempuan tidak lebih hebat dan tidak boleh lebih hebat daripada laki-laki. Ditanamkan bahwa sudah menjadi kodrat perempuan untuk tidak melebihi laki-laki. Selain ancaman atau stigma, kepada perempuan juga diberi manipulasi sistematis agar menerima posisi tersebut sebagai “berkat”.
Di pihak lain anak dianggap tidak lebih hebat dan tidak akan lebih hebat daripada orang dewasa. Seperti perempuan pada laki-laki, anak adalah subordinat orang dewasa. Orang dewasa bisa berbuat apa saja terhadap anak tanpa ada sanksi (hukum maupun sosial).
Kini, bayangkan posisi seorang anak yang kebetulan perempuan. Seandainya ada kasta imajiner, maka anak perempuan mungkin menduduki kasta paria atau sudra. Posisi seperti itulah yang diduduki oleh Kinanti dan Rembulan.
Keduanya hidup di keluarga sangat miskin, di tempat yang minim akses pendidikan, kesehatan, apatah lagi rekreasi. Bisa dibayangkan bagaimana atmosfer yang dicerap oleh keduanya setiap hari dalam hidupnya.
ALTERNATIF KARAKTER YANG DITAWARKAN OLEH KINANTI DAN REMBULAN
Ternyata, baik Kinanti dan Rembulan membawa sudut pandang lain.
Kinanti bersifat ceria, tegar, berani, mau mencoba sesuatu yang baru, dan penuh inisiatif. Bandingkan dengan karakter anak perempuan biasanya dibangun: penurut, manis, pasrah, lemah.
Kinanti berani bercita-cita besar biarpun ia jelas-jelas tumbuh dalam lingkungan yang menomorduakan anak perempuan. Perhatikan kutipan pada halaman 14 berikut ini:
Kinanti juga sosok pemberani dan tidak bergantung pada laki-laki. Ini tergambar ketika ia bertiga dengan Omar dan Iin ke pantai untuk melihat penyu bertelur. Dalam suasana yang mencekam karena dugaan pencurian telur penyu, Kinanti tetap dapat mengendalikan diri tanpa harus bergantung pada sosok Omar. Diperkuat lagi di halaman 111 ketika Kinanti berinisiatif mencari tumbuhan kumis kucing di malam hari sebagai obat penurun panas untuk adiknya. Padahal ada ayahnya di situ.
Kinanti digambarkan sebagai anak perempuan yang tidak mudah patah semangat atau persisnya jauh dari cengeng. Pada dasarnya mulai dari awal sudah digambarkan bagaimana Kinanti bertekad kuat untuk sekolah dengan modal sepeda bututnya. Ia menempuh perjalanan jauh di jalan yang tidak rata, diejek oleh beberapa orang kawannya, sementara itu sepedanya juga sering rusak.
Alinea berikut mungkin merangkum besarnya tekad Kinanti.
Selain bertekad kuat, ia juga penuh inisiatif. Ketika sendirian bersama dua orang adiknya (halaman 115), Kinanti berinisiatif mengantar adiknya (Kirana) yang sedang demam tinggi ke rumah Mantri Anwar yang jauh letaknya.
Perhatikan juga bahwa Kinanti dengan tegar menerima kenyataan bahwa sepedanya mau tak mau harus dijual.
Apakah Kinanti begitu sempurna? Kebetulan tulisan ini tidak membahas tentang karakterisasi. Namun, bila pun harus menjawab, Kinanti pun merasakan bingung dan takut ketika ditinggal sendirian dengan adik yang sakit (halaman 113). Ia marah dan menangis ketika Abah menjual sepedanya (halaman 123). Kinanti bahkan cenderung usil. Perhatikan ketika ia mengerjai Iin, sahabatnya, tentang uang dari koran (halaman 42). Kinanti tetap punya kelemahan. Namun, ini menjadikannya manusia.
Lalu, bagaimana dengan Rembulan di “Menggapai Rembulan”? Rembulan yang biasa dipanggil Bulan ini pun punya karakter yang kurang lebih sama dengan Kinanti. Ia tegar dan tabah. Ia percaya diri dan tidak manja. Bandingkan dengan stereotype tertentu yang membolehkan anak perempuan mewek (sementara anak laki tidak).
Perhatikan kutipan dari halaman 107 berikut ini:
Memang kemudian Bulan bersedia berhenti sekolah dan menjadi pembantu rumah tangga. Namun, keputusannya itu lebih karena pemikiran logis-realistisnya bahwa hanya dengan bekerjalah keluarganya akan keluar dari permasalahan. Biasanya, hanya laki-lakilah yang digambarkan mampu berpikir logis. Sementara perempuan adalah sepenuhnya perasaaan. Hal ini tidak terjadi pada Bulan. Ia me-reframe permasalahannya sebagai saat yang tepat untuk “bersinar menerangi keluarga, bagai rembulan di malam hari.”
Inilah beberapa karakter yang ditampilkan oleh Kinanti dan Rembulan. Alternatif ini mengimbangi pesan bahwa anak perempuan harus pasif, penurut, pasrah, lemah, cengeng, dan seterusnya.
Dari sudut pandang peranan sebuah teks dalam hubungannya dengan realitas kelihatannya karakter-karakter dalam dua buah novel ini tidak ada hubungannya dengan realitas. Namun bila memandang bahwa fungsi naskah adalah juga membentuk realitas maka kedua novel ini telah menjalankan fungsinya dengan sangat baik.
***
Sumber bacaan:
Purbani, Widiyastuti. Ideologi Gender dan ‘Imperialisme’ dalam Media Massa Anak. 2001. Yogyakarta: Training Sensitivitas Gender dalam Pendidikan Anak untuk Pelaku Media, LSPPA.
Pekanbaru, 11 Juli 2013
Agnes Bemoe
Sumber : http://agnesbemoe.blogspot.com/2014/01/books-through-my-eyes-btme-alternatif.html
Semoga Kinanti dan Rembulan bisa membangkitkan kembali semangat anak-anak Indonesia untuk maju terus dalam menggapai cita-citanya, dan bersinar dari segala keterpurukan yang pernah dikecapnya. Aamiin.
---------------------
ALTERNATIF DEFINISI (ANAK) PEREMPUAN OLEH KINANTI DAN REMBULAN
Telaah Sederhana terhadap Novel “Sepeda Ontel Kinanti” dan “Menggapai Rembulan” Karya Iwok Abqary.
Ada banyak hal dalam dua buah novel anak karya Iwok Abqary (Ridwan Abqary) ini yang menarik perhatian saya: kemiskinan struktural, karakter tokoh utamanya, serta masalah konversi alam (dalam hal ini penyu laut). Dalam tulisan ini saya ingin membahas tentang karakter tokohnya, dua orang anak perempuan, masing-masing Kinanti dalam “Sepeda Ontel Kinanti” dan Rembulan (Bulan) dalam “Menggapai Rembulan”. Karakter kedua tokoh ini akan saya hubungkan dengan realitas yang ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
DEFINISI (ANAK) PEREMPUAN DI INDONESIA
Menurut Widyastuti Purbani dalam makalahnya yang berjudul “Ideologi Gender dan ‘Imperialisme’ dalam Media Massa Anak” budaya masyarakat Indonesia adalah budaya patriarki. Tata pola kehidupan berjalan atas satu sudut pandang, yakni sudut pandang laki-laki.
Dari makalah yang sama diperoleh data bahwa sebagian besar cerita anak pada sebuah majalah anak-anak terpopuler di Indonesia menampilkan ideologi gender dengan relatif timpang. Femininitas tradisional dilestarikan melalui penggambaraan karakter yang domestis, kurang berdaya, dan bergantung kepada laki-laki.
Berikut adalah perincian karakter perempuan/anak perempuan dalam cerita-cerita di majalah tersebut:
• Mereka hampir tak bersuara.
• Mereka menempati wilayah yang terlindungi
• Mereka pasif
• Mereka bukan bintang bahkan di wilayahnya sendiri
• Mereka lemah
• Mereka bergantung
• Mereka tidak cerdas
• Mereka statis
• Mereka tak memiliki kekuatan tawar
• Mereka kurang berkuasa/atau bila ya kekuasaannya semu dan tidak menantang
• Mereka banyak terlibat pada kegiatan domestis
• Citra yang dibangun adalah citra lembut dan rapih
KARAKTER KINANTI DAN BULAN BERHADAPAN DENGAN REALITAS
Sebuah naskah bisa jadi berupa penggambaran realitas yang ada. Naskah adalah representasi pola pikir yang sedang berkembang di masyarakat. Namun di lain pihak, sebuah naskah bisa menjadi arena untuk menawarkan alternatif lain terhadap suatu hal.
Seperti yang disinggung dalam makalah tulisan Widyatuti Purbani di atas, yang berkembang dalam masyarakat kita adalah pemikiran bahwa perempuan tidak lebih hebat dan tidak boleh lebih hebat daripada laki-laki. Ditanamkan bahwa sudah menjadi kodrat perempuan untuk tidak melebihi laki-laki. Selain ancaman atau stigma, kepada perempuan juga diberi manipulasi sistematis agar menerima posisi tersebut sebagai “berkat”.
Di pihak lain anak dianggap tidak lebih hebat dan tidak akan lebih hebat daripada orang dewasa. Seperti perempuan pada laki-laki, anak adalah subordinat orang dewasa. Orang dewasa bisa berbuat apa saja terhadap anak tanpa ada sanksi (hukum maupun sosial).
Kini, bayangkan posisi seorang anak yang kebetulan perempuan. Seandainya ada kasta imajiner, maka anak perempuan mungkin menduduki kasta paria atau sudra. Posisi seperti itulah yang diduduki oleh Kinanti dan Rembulan.
Keduanya hidup di keluarga sangat miskin, di tempat yang minim akses pendidikan, kesehatan, apatah lagi rekreasi. Bisa dibayangkan bagaimana atmosfer yang dicerap oleh keduanya setiap hari dalam hidupnya.
ALTERNATIF KARAKTER YANG DITAWARKAN OLEH KINANTI DAN REMBULAN
Ternyata, baik Kinanti dan Rembulan membawa sudut pandang lain.
Kinanti bersifat ceria, tegar, berani, mau mencoba sesuatu yang baru, dan penuh inisiatif. Bandingkan dengan karakter anak perempuan biasanya dibangun: penurut, manis, pasrah, lemah.
Kinanti berani bercita-cita besar biarpun ia jelas-jelas tumbuh dalam lingkungan yang menomorduakan anak perempuan. Perhatikan kutipan pada halaman 14 berikut ini:
“Kamu, kan, anak perempuan. Buat apa sekolah? Lebih baik, kamu mengurus adik-adikmu selagi ayah melaut. Tenagamu bisa digunakan untuk membantu ayah mengawasi adikmu.” bujuk ayahnya.
…
Kinanti merengut. Dia tidak ingin tinggal di rumah selamanya. Dia ingin menjadi orang pintar, dan ingin mengetahui semua pengetahuan yang ada di dunia ini. Kinanti ingin menakhlukkan dunia.
Kinanti juga sosok pemberani dan tidak bergantung pada laki-laki. Ini tergambar ketika ia bertiga dengan Omar dan Iin ke pantai untuk melihat penyu bertelur. Dalam suasana yang mencekam karena dugaan pencurian telur penyu, Kinanti tetap dapat mengendalikan diri tanpa harus bergantung pada sosok Omar. Diperkuat lagi di halaman 111 ketika Kinanti berinisiatif mencari tumbuhan kumis kucing di malam hari sebagai obat penurun panas untuk adiknya. Padahal ada ayahnya di situ.
Kinanti digambarkan sebagai anak perempuan yang tidak mudah patah semangat atau persisnya jauh dari cengeng. Pada dasarnya mulai dari awal sudah digambarkan bagaimana Kinanti bertekad kuat untuk sekolah dengan modal sepeda bututnya. Ia menempuh perjalanan jauh di jalan yang tidak rata, diejek oleh beberapa orang kawannya, sementara itu sepedanya juga sering rusak.
Alinea berikut mungkin merangkum besarnya tekad Kinanti.
(Halaman 54)
Itulah yang kuinginkan dengan hidupku, desis Kinanti. Aku akan terus pergi ke sekolah tanpa rasa bosan. Ombak saja menempuh jarak yang jauh dari tengah lautan untuk mencapai pantai. Begitupun dengan sekolahku. Aku tidak boleh malas hanya karena jarak rumah yang jauh dari sekolah. Aku harus tetap sekolah, mengejar cita-citaku!
Selain bertekad kuat, ia juga penuh inisiatif. Ketika sendirian bersama dua orang adiknya (halaman 115), Kinanti berinisiatif mengantar adiknya (Kirana) yang sedang demam tinggi ke rumah Mantri Anwar yang jauh letaknya.
Perhatikan juga bahwa Kinanti dengan tegar menerima kenyataan bahwa sepedanya mau tak mau harus dijual.
(Halaman 131)
“Besok saya tetap akan masuk sekolah, Bu, meskipun harus berjalan kaki.”
Mata Bu Arini seketika berkaca-kaca.
Apakah Kinanti begitu sempurna? Kebetulan tulisan ini tidak membahas tentang karakterisasi. Namun, bila pun harus menjawab, Kinanti pun merasakan bingung dan takut ketika ditinggal sendirian dengan adik yang sakit (halaman 113). Ia marah dan menangis ketika Abah menjual sepedanya (halaman 123). Kinanti bahkan cenderung usil. Perhatikan ketika ia mengerjai Iin, sahabatnya, tentang uang dari koran (halaman 42). Kinanti tetap punya kelemahan. Namun, ini menjadikannya manusia.
Lalu, bagaimana dengan Rembulan di “Menggapai Rembulan”? Rembulan yang biasa dipanggil Bulan ini pun punya karakter yang kurang lebih sama dengan Kinanti. Ia tegar dan tabah. Ia percaya diri dan tidak manja. Bandingkan dengan stereotype tertentu yang membolehkan anak perempuan mewek (sementara anak laki tidak).
Perhatikan kutipan dari halaman 107 berikut ini:
“Aku tidak boleh gugup. Aku harus bisa bercerita dengan baik!” tekad Bulan sambil mengepalkan tangannya. “Peserta lain boleh saja bagus-bagus, tapi aku harus lebih bagus.”
Memang kemudian Bulan bersedia berhenti sekolah dan menjadi pembantu rumah tangga. Namun, keputusannya itu lebih karena pemikiran logis-realistisnya bahwa hanya dengan bekerjalah keluarganya akan keluar dari permasalahan. Biasanya, hanya laki-lakilah yang digambarkan mampu berpikir logis. Sementara perempuan adalah sepenuhnya perasaaan. Hal ini tidak terjadi pada Bulan. Ia me-reframe permasalahannya sebagai saat yang tepat untuk “bersinar menerangi keluarga, bagai rembulan di malam hari.”
Inilah beberapa karakter yang ditampilkan oleh Kinanti dan Rembulan. Alternatif ini mengimbangi pesan bahwa anak perempuan harus pasif, penurut, pasrah, lemah, cengeng, dan seterusnya.
Dari sudut pandang peranan sebuah teks dalam hubungannya dengan realitas kelihatannya karakter-karakter dalam dua buah novel ini tidak ada hubungannya dengan realitas. Namun bila memandang bahwa fungsi naskah adalah juga membentuk realitas maka kedua novel ini telah menjalankan fungsinya dengan sangat baik.
***
Sumber bacaan:
Purbani, Widiyastuti. Ideologi Gender dan ‘Imperialisme’ dalam Media Massa Anak. 2001. Yogyakarta: Training Sensitivitas Gender dalam Pendidikan Anak untuk Pelaku Media, LSPPA.
Pekanbaru, 11 Juli 2013
Agnes Bemoe
Sumber : http://agnesbemoe.blogspot.com/2014/01/books-through-my-eyes-btme-alternatif.html
Komentar