Semangat itu timbul lagi
Gw ngga nyangka kalo postingan sebelumnya bisa bersambung ke postingan ini. Tapi ini bener-bener di luar dugaan. Setelah gw mengkhawatirkan kondisi Abith sebelumnya, sehari setelah kejadian lomba itu, sekolah (khususnya Ibu Guru) sudah menyelematkan semangat Abith yang sempat luntur.
Hari Senin, TK 'Wijayakusuma' tempat Abith sekarang sekolah, menggelar lomba 17an yang tertunda. Dengan kondisi teman-teman yang sudah dikenalnya, dan bujukan ibu guru yang menawan, Abith bangkit berdiri dan maju ke arena. Masih ada raut kepanikan yang tersisa di wajahnya, tapi lonjakan kesenangan dari teman-temannya di sekeliling membuat semangatnya timbul.
Lomba pertama : menggigit sendok berisi kelereng diatasnya, dan berjalan beberapa meter. Ibu guru pun menyampaikan aturannya dengan perlahan. Tapi entah masih gugup atau tidak menyimak aturan yang dijelaskan, begitu aba-aba lomba dimulai Abith langsung melesat lari dengan .... tangan kanan memegang sendok yang ada di mulut, dan tangan kiri menggenggam si kelereng. Hehehe ... sementara yang lain masih beringsut-ingsut menahan keseimbangan kelereng di atas sendok. Tanpa ada perlawanan sama sekali, Abith sudah tiba di garis finish jauh dari lawan-lawannya.
"Ibu guru ... Aku menaaang!" serunya sambil melonjak-lonjak gembira, tidak perduli penonton tertawa terbahak.
Ibu guru tersenyum menahan tawa. "Iya, Abith yang menang."
Benarkah kecurangan harus dimenangkan? Tentu saja tidak. Meski Abith tiba paling dulu, dan ibu guru mengatakan bahwa Abith yang menang, toh hadiah lomba kelereng itu tidak diserahkan kepada Abith, tetapi kepada juara sesungguhnya.
Terima kasih Ibu guru. Ibu tahu bagaimana menghargai sebuah semangat dari seorang anak yang baru mengenal kata lomba. Anak adalah sosok yang masih haus pujian, dan bukan teriakan bahkan makian. Sebuah senyum sudah merupakan penghargaan yang menyenangkan. Bahkan, bukankah kita pun masih butuh senyum?
Semangat Abith kembali berkobar. Ikut lomba (di sekolahnya) ternyata menyenangkan. Ketika ibu guru memanggilnya kembali untuk ikut lomba memasukkan bola (plastik) ke dalam keranjang warna yang sesuai, matanya memancar. Dengan gesit dia berlari dari ujung yang satu untuk mengambil sebuah bola, dan lari ke ujung yang satu lagi untuk memasukkan ke keranjang dengan warna yang sama. Berlari lagi ke ujung semula untuk mengambil bola, dan berlari lagi ke keranjang. Perjuangan dan semangatnya tak mengendur. Abith jadi juara ... juara yang sebenar-benarnya!
Sore itu Abith menunggu gw pulang di gerbang rumah. Dia tidak sabar untuk menunjukkan sebatang pensil, hadiah lomba memasukkan bola ke keranjang.
"Ayah! aku dapat hadiah." Tangannya yang memegang pensil teracung tinggi ketika melihat gw datang. "Tadi aku menang lomba kelereng dan masukkin bola ke keranjang. bolanya disitu, terus dimasukkin kesitu. Aku lari-lari ...." celoteh Abith bergema tanpa henti. Bahkan gw tidak sempat lagi membuka sepatu. Celotehan itu terdengar riang dan sayang untuk dilewatkan.
Gw tersenyum dalam. I knew it, Kiddo. Your Aunty told me on phone right after you won the game!
Hari Senin, TK 'Wijayakusuma' tempat Abith sekarang sekolah, menggelar lomba 17an yang tertunda. Dengan kondisi teman-teman yang sudah dikenalnya, dan bujukan ibu guru yang menawan, Abith bangkit berdiri dan maju ke arena. Masih ada raut kepanikan yang tersisa di wajahnya, tapi lonjakan kesenangan dari teman-temannya di sekeliling membuat semangatnya timbul.
Lomba pertama : menggigit sendok berisi kelereng diatasnya, dan berjalan beberapa meter. Ibu guru pun menyampaikan aturannya dengan perlahan. Tapi entah masih gugup atau tidak menyimak aturan yang dijelaskan, begitu aba-aba lomba dimulai Abith langsung melesat lari dengan .... tangan kanan memegang sendok yang ada di mulut, dan tangan kiri menggenggam si kelereng. Hehehe ... sementara yang lain masih beringsut-ingsut menahan keseimbangan kelereng di atas sendok. Tanpa ada perlawanan sama sekali, Abith sudah tiba di garis finish jauh dari lawan-lawannya.
"Ibu guru ... Aku menaaang!" serunya sambil melonjak-lonjak gembira, tidak perduli penonton tertawa terbahak.
Ibu guru tersenyum menahan tawa. "Iya, Abith yang menang."
Benarkah kecurangan harus dimenangkan? Tentu saja tidak. Meski Abith tiba paling dulu, dan ibu guru mengatakan bahwa Abith yang menang, toh hadiah lomba kelereng itu tidak diserahkan kepada Abith, tetapi kepada juara sesungguhnya.
Terima kasih Ibu guru. Ibu tahu bagaimana menghargai sebuah semangat dari seorang anak yang baru mengenal kata lomba. Anak adalah sosok yang masih haus pujian, dan bukan teriakan bahkan makian. Sebuah senyum sudah merupakan penghargaan yang menyenangkan. Bahkan, bukankah kita pun masih butuh senyum?
Semangat Abith kembali berkobar. Ikut lomba (di sekolahnya) ternyata menyenangkan. Ketika ibu guru memanggilnya kembali untuk ikut lomba memasukkan bola (plastik) ke dalam keranjang warna yang sesuai, matanya memancar. Dengan gesit dia berlari dari ujung yang satu untuk mengambil sebuah bola, dan lari ke ujung yang satu lagi untuk memasukkan ke keranjang dengan warna yang sama. Berlari lagi ke ujung semula untuk mengambil bola, dan berlari lagi ke keranjang. Perjuangan dan semangatnya tak mengendur. Abith jadi juara ... juara yang sebenar-benarnya!
Sore itu Abith menunggu gw pulang di gerbang rumah. Dia tidak sabar untuk menunjukkan sebatang pensil, hadiah lomba memasukkan bola ke keranjang.
"Ayah! aku dapat hadiah." Tangannya yang memegang pensil teracung tinggi ketika melihat gw datang. "Tadi aku menang lomba kelereng dan masukkin bola ke keranjang. bolanya disitu, terus dimasukkin kesitu. Aku lari-lari ...." celoteh Abith bergema tanpa henti. Bahkan gw tidak sempat lagi membuka sepatu. Celotehan itu terdengar riang dan sayang untuk dilewatkan.
Gw tersenyum dalam. I knew it, Kiddo. Your Aunty told me on phone right after you won the game!
Komentar
Mulai dari gigit sendok ampe nyebur ke got, neng Pritha ini juaranyaaa...Huahahahaa
Abith, sayang ayahmu tak mengizinkanmu belajar padakuh ;p