[Review] Iron Man menurut Rinurbad
"Ini novel kedua Kang Iwok yang bicara mengenai dunia usaha, setelah Tikil.
Baru mengamati covernya saja, sudah ngikik-ngikik. Biasanya saya paling malas memperhatikan kulit muka, sebab saya bukan pembaca yang menganut 'penghakiman buku via sampul'. Tapi saya terbahak-bahak juga membaca teks:
Telah Dibaca Berkali-kali Oleh Penulisnya
Telah Dibaca Berkali-kali Oleh Editornya
juga label Tak Mahal untuk 'memplesetkan' logo Halal. Sungguh relevan dengan isi ceritanya yang menanamkan jiwa wiraswasta sejak dini (baca: pada anak remaja).
Cerita dibuka dengan kegemparan dan ketegangan di sebuah sekolah pada hari pengumuman UAN. Dari situ, Jodi terilhami membangun usaha binatu kecil-kecilan bersama sahabatnya, Beno, setelah memperoleh warisan dari ayahnya almarhum berupa setrika arang yang disebut Si Jago.
Saya perempuan yang sangat canggung dalam urusan kerumahtanggaan, jadi bolak-balik bertanya selama membaca. Memang saya pernah lihat setrika arang yang berat dan wangi, kerjanya lebih repot namun konon pakaian jadi lebih rapi.
Pesannya tergurat secara transparan, antara lain bahwa menjalankan wirausaha butuh keteguhan tekad dan kerja sama serta dukungan keluarga. Apalagi jika dilakukan di rumah. Zaman sekarang, gelimang fasilitas menjadikan manusia mudah mengeluh dan mengotak-ngotakkan pekerjaan. Di sini terungkap bahwa memiliki usaha binatu skala kecil pun perlu mengerahkan segenap tenaga, waktu, keterampilan, kesabaran, serta jauh dari mudah. Bayangkan bila pakaian kotor yang masuk tidak diketahui pemiliknya, pesanan khususnya, dan tenggat yang diminta.
Saya juga terkagum-kagum oleh semangat kreatif Beno mempromosikan Iron Man, yang semula dikira larangan merokok karena embel-embel Anti Keriting di papannya, kepada ibu-ibu arisan. Potret fenomena periklanan yang begitu akurat dalam gagasan mengundang minat calon konsumen, seperti aneka iklan sabun deterjen beserta manfaat yang dijanjikannya di layar kaca setiap hari. Cerita banting tulang usaha Jodi dan Beno ini akan membuat kita menghargai para pelaku bisnis binatu, skala apa pun, ibu kita di rumah yang berkeringat mengurus pakaian seluruh anggota keluarga, serta asisten rumah tangga baik harian maupun bulanan. Ini sebentuk empati Kang Iwok kepada kerepotan kaum wanita, meski harus diakui, ada juga pria-pria yang berbesar hati mengesampingkan 'gengsi' guna mengerjakan cuci-seterika.
Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah ketidaksamaan Iron Man sedikit pun dengan karakter komik dan film yang sudah berseliweran lebih dulu di mancanegara. Sebagaimana dicetuskan Jodi dalam buku ini, itu semata ide bisnis guna menyingkat nama dan memudahkan konsumen mengingatnya. Tak bisa dipungkiri, masyarakat Indonesia lebih mengakrabi bahasa asing ketimbang bahasa ibu sendiri.
Satu poin menarik yang saya amati adalah figur anak lelaki dengan ibu tunggal, seperti pernah tampil di novel Batman Saroong yang juga bernuansa kehidupan kelas menengan ke bawah. Apakah ciri khas ini disadari oleh penulisnya atau tidak, tentu hanya Kang Iwok yang tahu:)
Beberapa masukan:
1. Penyuntingan ejaan bahasa Inggris, seperti 'marvelous' (hal. 74)
2. Ilustrasinya yang 'terlambat'. Di bab sebelumnya sudah dibahas, tapi ilustrasi baru muncul di bab berikut.
3. Setrikaan rasa macam-macam. Di tengah buku baru terkuak bahwa yang sebenarnya dimaksud adalah aroma pewanginya.
4. Dengan segala hormat, saya menyarankan minimalisasi karakter yang hobi kentut. Tapi ini semata selera saya:)
Saya suka jawaban-jawaban spontan karakter Jodi dan Beno, seperti di hal. 158:
"Udaranya cerah ya, Ben, rumputnya juga ijo. Seger kayaknya."
...
"Buat lo aja, gue udah kenyang."
Apakah buku ini menjadikan saya suka dan gemar menyeterika, seperti pesan penulis di halaman dalamnya? Sepertinya sih, tidak. Kalau ada jasa Iron Man di dekat rumah, saya mau deh jadi langganan:D
Nuhun Rin :)
Baru mengamati covernya saja, sudah ngikik-ngikik. Biasanya saya paling malas memperhatikan kulit muka, sebab saya bukan pembaca yang menganut 'penghakiman buku via sampul'. Tapi saya terbahak-bahak juga membaca teks:
Telah Dibaca Berkali-kali Oleh Penulisnya
Telah Dibaca Berkali-kali Oleh Editornya
juga label Tak Mahal untuk 'memplesetkan' logo Halal. Sungguh relevan dengan isi ceritanya yang menanamkan jiwa wiraswasta sejak dini (baca: pada anak remaja).
Cerita dibuka dengan kegemparan dan ketegangan di sebuah sekolah pada hari pengumuman UAN. Dari situ, Jodi terilhami membangun usaha binatu kecil-kecilan bersama sahabatnya, Beno, setelah memperoleh warisan dari ayahnya almarhum berupa setrika arang yang disebut Si Jago.
Saya perempuan yang sangat canggung dalam urusan kerumahtanggaan, jadi bolak-balik bertanya selama membaca. Memang saya pernah lihat setrika arang yang berat dan wangi, kerjanya lebih repot namun konon pakaian jadi lebih rapi.
Pesannya tergurat secara transparan, antara lain bahwa menjalankan wirausaha butuh keteguhan tekad dan kerja sama serta dukungan keluarga. Apalagi jika dilakukan di rumah. Zaman sekarang, gelimang fasilitas menjadikan manusia mudah mengeluh dan mengotak-ngotakkan pekerjaan. Di sini terungkap bahwa memiliki usaha binatu skala kecil pun perlu mengerahkan segenap tenaga, waktu, keterampilan, kesabaran, serta jauh dari mudah. Bayangkan bila pakaian kotor yang masuk tidak diketahui pemiliknya, pesanan khususnya, dan tenggat yang diminta.
Saya juga terkagum-kagum oleh semangat kreatif Beno mempromosikan Iron Man, yang semula dikira larangan merokok karena embel-embel Anti Keriting di papannya, kepada ibu-ibu arisan. Potret fenomena periklanan yang begitu akurat dalam gagasan mengundang minat calon konsumen, seperti aneka iklan sabun deterjen beserta manfaat yang dijanjikannya di layar kaca setiap hari. Cerita banting tulang usaha Jodi dan Beno ini akan membuat kita menghargai para pelaku bisnis binatu, skala apa pun, ibu kita di rumah yang berkeringat mengurus pakaian seluruh anggota keluarga, serta asisten rumah tangga baik harian maupun bulanan. Ini sebentuk empati Kang Iwok kepada kerepotan kaum wanita, meski harus diakui, ada juga pria-pria yang berbesar hati mengesampingkan 'gengsi' guna mengerjakan cuci-seterika.
Hal lain yang perlu digarisbawahi adalah ketidaksamaan Iron Man sedikit pun dengan karakter komik dan film yang sudah berseliweran lebih dulu di mancanegara. Sebagaimana dicetuskan Jodi dalam buku ini, itu semata ide bisnis guna menyingkat nama dan memudahkan konsumen mengingatnya. Tak bisa dipungkiri, masyarakat Indonesia lebih mengakrabi bahasa asing ketimbang bahasa ibu sendiri.
Satu poin menarik yang saya amati adalah figur anak lelaki dengan ibu tunggal, seperti pernah tampil di novel Batman Saroong yang juga bernuansa kehidupan kelas menengan ke bawah. Apakah ciri khas ini disadari oleh penulisnya atau tidak, tentu hanya Kang Iwok yang tahu:)
Beberapa masukan:
1. Penyuntingan ejaan bahasa Inggris, seperti 'marvelous' (hal. 74)
2. Ilustrasinya yang 'terlambat'. Di bab sebelumnya sudah dibahas, tapi ilustrasi baru muncul di bab berikut.
3. Setrikaan rasa macam-macam. Di tengah buku baru terkuak bahwa yang sebenarnya dimaksud adalah aroma pewanginya.
4. Dengan segala hormat, saya menyarankan minimalisasi karakter yang hobi kentut. Tapi ini semata selera saya:)
Saya suka jawaban-jawaban spontan karakter Jodi dan Beno, seperti di hal. 158:
"Udaranya cerah ya, Ben, rumputnya juga ijo. Seger kayaknya."
...
"Buat lo aja, gue udah kenyang."
Apakah buku ini menjadikan saya suka dan gemar menyeterika, seperti pesan penulis di halaman dalamnya? Sepertinya sih, tidak. Kalau ada jasa Iron Man di dekat rumah, saya mau deh jadi langganan:D
Nuhun Rin :)
Komentar