[Tips] Jual Putus atau Royalti?
Tanpa bermaksud sok tahu atau sok ngajarin, berikut ini saya ingin menyampaikan tentang sistem jual putus dan sistem royalti dalam dunia penerbitan. Tentu saja berdasarkan pengalaman-pengalaman saya selama ini.
Selama ini, dikenal adanya dua sistem pembayaran apabila sebuah naskah diterbitkan oleh sebuah penerbit. Entah itu buku non fiksi maupun fiksi. Sistem ini adalah Jual Putus dan Royalti. Biasanya pada saat naskah sudah mendapat persetujuan terbit, akan terjalin komunikasi mengenai segala sesuatu yang berhubungan dengan rencana penerbitan naskah tersebut antara penulis dan editor (yang mewakili penerbit). Salah satu diantaranya adalah mengenai kontrak dan sistem pembayaran. Ketika ditawarkan apakah kita akan mengambil sistem jual putus atau royalti, manakah yang sebaiknya diambil?
Seringkali saya mendapatkan pertanyaan dari teman sesama penulis ketika dia dihadapkan pada pilihan ini. Mereka kebingungan, apakah harus memilih jual putus atau royalti? Nah, sebelum memutuskan salah satunya, lebih baik kita lihat dulu apakah keuntungan dan kerugian dari kedua sistem pembayaran ini.
Jual Putus
- Penulis hanya akan menerima satu kali pembayaran saja, yaitu pembayaran di muka ketika kesepakatan sudah disetujui dan kontrak jual beli sudah ditandatangani. Setelah itu penulis tidak akan menerima pembayaran lagi.
- Besar harga tergantung kesepakatan antara Penulis dengan Penerbit. Hanya saja, biasanya setiap penerbit sudah mempunyai standar harga masing-masing untuk setiap jenis naskah. Tetapi, kalau Penulis memiliki nilai tawar (bargaining power) tersendiri, bisa saja kita meminta nilai lebih dari angka yang ditawarkan oleh penerbit. Yang jelas, naskah belum bisa diterbitkan kalau kesepakatan ini belum disetujui kedua belah pihak.
- Bargaining power dimaksud misalnya, tema yang ditulis belum pernah ada sebelumnya, berpeluang menciptakan tren baru, memiliki peluang untuk menjadi best seller,dan lain-lain. Hal-hal seperti itu yang bisa diajukan sebagai dasar pengajuan permintaan kenaikan harga. Jadi tidak semata-mata kita meminta harga tinggi kalau tidak ada ‘sesuatu’ yang lebih dari naskah kita. Apalagi, kalau kita adalah penulis baru yang belum dikenal di dunia perbukuan, biasanya penerbit memiliki pertimbangan tersendiri.
- Penulis dan Penerbit akan menandatangani Surat Akad Jual Beli Naskah (SAN) –istilahnya bisa berbeda-beda di setiap penerbit.
Keuntungan
- Penulis akan menerima pembayaran sekaligus (sesuai angka kesepakatan) tanpa perlu menunggu periode pembayaran seperti yang diberlakukan pada sistem royalti.
- Apabila buku tidak laku, penulis tidak akan merasa rugi karena sudah dibayar di muka.
Kerugian
- Apabila bukunya ternyata laris dan bahkan best seller, penulis tidak akan mendapatkan keuntungan/pembayaran apapun lagi.
- Setiap kali terjadi cetak ulang, penulis hanya akan mendapatkan bukti cetak ulang saja.
Royalti
- Penulis akan menerima pembayaran royalti secara rutin pada setiap periode pembayaran. Periode pembayaran yang selama ini pernah saya terima cukup bervariasi, dari yang per-triwulan (tiga bulanan), per kwartal (empat bulanan), dan per semester (enam bulanan). Setiap penerbit memiliki sistem periode pembayaran yang berbeda-beda. Untuk mengetahuinya, bisa dibaca pada kontrak penerbitan.
- Besaran royalti di setiap penerbit bisa sama, bisa pula berbeda. Tergantung dari penerbit yang bersangkutan. Untuk buku anak yang membutuhkan banyak ilustrasi biasanya prosentasi royalti akan jauh lebih kecil dari royalti standar, karena harus berbagi dengan ilustrator. Standar umum royalti adalah 10% dari harga jual buku.
- Setiap penerbit memiliki standar royalti masing-masing. Angka prosentasi yang kita terima akan tercantum dalam kontrak penerbitan. Penulis boleh mengajukan negosiasi royalti (permintaan kenaikan prosentasi royalti) apabila memiliki bargaining power, seperti yang sudah dijelaskan pada sistem jual putus di atas.
- Royalti yang dibayar dihitung dari rekapitulasi penjualan buku kita setiap periodenya.
- Contoh perhitungan royalti. Dalam suatu periode, buku yang terjual adalah sebanyak 1.000 eks dengan harga jual Rp. 30.000,- Sementara itu prosentasi royalti kita adalah 10%, maka perhitungannya adalah sebagai berikut :
1.000 eks x Rp. 30.000,- = Rp. 30.000.000,- x 10% = Rp. 3.000.000,-
- Jangan salah, setiap royalti akan dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15% (untuk yang memiliki NPWP) atau 30% (untuk yang tidak memiliki NPWP). Karena itu, setelah didapat nilai royalti dari perhitungan di atas, nilai royalti kita harus dikurangi terlebih dahulu oleh PPH, seperti berikut :
Jumlah Royalti Rp. 3.000.000,-
PPh Psl 23 (Rp. 3.000.000,- x 15%) Rp. 450.000,- (-)
Royalti yang diterima Rp. 2.550.000,-
- Penulis dan Penerbit akan menandatangani Surat Perjanjian Penerbitan (SPP).
Keuntungan
- Sistem royalti bagi saya tidak ubah sebagai tabungan yang akan cair setiap akhir periode pembayaran. Setidaknya ada sesuatu yang ditunggu-tunggu pada setiap akhir periode. Bukankah sangat menyenangkan apabila setiap 6 bulan sekali rekening kita akan terisi lagi secara otomatis? J
- Apabila buku kita laris, best seller sampai cetak ulang berkali-kali, maka pendapatan kita pun akan terus bertambah. Royalti kita akan terus dihitung dari setiap buku yang terjual. Menyenangkan sekali bukan?
- Di penerbit-penerbit tertentu, ada bonus (tambahan) royalti apabila buku kita best seller dan melewati jumlah penjualan tertentu. Katakan saja awalnya royalti kita adalah 10%. Setelah melewati jumlah penjualan tertentu, Penulis akan mendapatkan bonus royalti 1% sehingga untuk penjualan di atas angka tersebut akan menjadi 11%. Mantap jaya kan? J
Kerugian
- Kita harus sabar menunggu setiap akhir periode untuk mendapatkan penghasilan.
- Apabila buku tidak laku, maka pendapatan penulis pun sedikit. Royalti hanya diterima dari prosentasi buku yang terjual saja.
Jadi, mending yang mana?
Tentu saja keduanya memiliki keuntungan dan kekurangan tersendiri. Tinggal kita timbang-timbang lagi semendesak apa kita membutuhkan dana. Apabila ternyata kita memerlukan dana mendesak (karena suatu kepentingan yang tidak bisa ditunda), tentu jual putus adalah pilihan yang tepat. Kita bisa menerima penghasilan dari penjualan naskah dengan sekaligus dan cepat. Selain itu Penulis pun tidak perlu takut apakah nanti bukunya akan laku atau tidak.
Hanya saja, kalau anda menulis for fun (menulis karena hobi dan bukan karena materi), atau tidak dalam kondisi sedang memerlukan dana mendesak, kenapa tidak memilih sistem royalti saja? Bukankah peluang mendapatkan penghasilan yang lebih besar pun selalu terbuka? Sistem royalti juga ikut memacu penulisnya agar ikut turun tangan dalam promo dan penjualannya. Bukankah semakin banyak buku terjual kita juga akan semakin untung?
Semoga bermanfaat.
Selamat menulis :)
Image taken from : www.fotolia.com
Komentar
Btw, aku ijin follow dan tempel situsmu di blogku yah...
Untuk harga jual putus tergantung penerbit juga, karena biasanya akan berbeda2 angkanya. Mohon maaf tidak bisa membantu nominal harga karena saya belum pernah membuat karya berjenis keterampilan. Naskah2 saya selama ini berbentuk novel. Semoga tidak kecewa ya Mom :)
Saya pengen nanya nih, pasaran harga putus itu sekitar berapa juta sih kalau untuk buku anak-anak ?
beatrixangelina@ymail.com
Semoga membantu ya :)
pada sistem beli putus apakah nama pengarang asli masih tercantum di buku ataukah diganti sesuai keinginan penerbit?
terima kasih sbelumnya...
terima kasih juga sudah mampir :)
Kalau misalnya kita sudah jual putus. dan rupanya suatu saat novel dijadikan film, apa kah penulis dapat lgi? thanks
hm.. bolehkan saya menerka, apakah mas masuk ke kategori peminat yg mana dari kedua opsi, hmmm dari terawangan saya sepertinya mas lebih kepada royalti :D heheh maaf jika salah.. keep smile.. salam super :)
@sayuti - hehehe iya, saya lebih suka dengan sistem royalti karena royalti semacam tabungan buat saya. Setidaknya, setiap periode tertentu ada sesuatu yang bisa saya tunggu dan bisa mengisi dompet saya. hehehe
Salam kenal pak...
kalau untuk surat kontrak, nanti dikirim via pos kok, jangan khawatir :D
and leave comment ya
http://rangerdoublepower.blogspot.com
thanks before
Mohon izin saya share ya. Akan tetap saya tulis sumbernya.
Sekali lagi terima kasih
Kang saya punya naskah non fiksi tema motivasi. Baiknya kirim kemana? Atau ada saran mengenai naskah saya?
Kang saya punya naskah non fiksi tema motivasi. Baiknya kirim kemana? Atau ada saran mengenai naskah saya?
coba deh main ke toko buku, lalu perhatikan penerbit buku2 motivasi yang ada. catat alamat2 penerbitnya. Nah, coba deh kirim ke sana. hehehe ... soanya saya belum pernah nerbitin buku motivasi, jadi kurang hapal secara detilnya :D
Mas mau tanya, kalo kita menggunakan sistem royalti nanti kan bakal masuk tuh uang pembayaran kepada si penulis.
nah kalo seorang pelajar yang gk punya kartu rekening bagaimana?
Sya udah ngirim naskah novel ke penerbit, tapi udah sampe batas waktu evaluasi (3 bulan) belum ada kabar aja, email sya tdk dibalas, bisa gak kalo sya kirim lg ke penerbit lain?
@akta - sebelum dikirim ke penerbit lain, pastikan sudah konfirmasi ke penerbitnya ya. bisa via telpon atau email untuk menarik naskahnya :)
@riski - pengalaman saya, di gagas standar 10% juga :)
Saya adalah seorang penulis pemula, popularitas dll nya pun saya belum punya. Mentok2 saya nulis blog. Sekarang saya telah selesai nulis novel fiksi bergenre teenlit.
Andai mas iwok jd saya, dengan status pemula dan jumlah followers yg gak banyak di tiap medsos nya. Juga kemampuan menulis yg masih dlm tahap belajar. Mengirim naskah ke penerbit dengan sistem royalti atau beli putus?
Trims, sukses mas :)
dalam dunia kepenulisan tidak ada istilah pemula atau senior kok. Jangan terganggu oleh istilah itu ya, biar tidak menjadi beban. Yang dicari penerbit hanya satu; naskah yang bagus, siapapun penulisnya.
Dari pertama kali menerbitkan buku, saya selalu memilih sistem royalti. Karena dengan begitu, saya bisa memaksimalkan untuk promo/memasarkan buku saya. Kalau jual putus, cenderung penulis (tidak semua memang) enggan untuk mempromosikan karyanya karena laris atau tidak, toh saya sudah dibayar. :D