Jangan Serahkan Nyawa Begitu Saja!
Pantai Pangandaran (foto. koleksi pribadi) |
Salah siapakah? Salahkah gelombang yang datang menghempas dan menggulung wisatawan tersebut untuk menariknya jauh dari bibir pantai?
Sebanyak enam wisatawan terseret pusaran arus bawah laut di sekitar Pos III hingga Pos V penjaga pantai yang merupakan zona berbahaya berenang (Radar Tasikmalaya, 2 Januari 2013).
Miris dan getir. Masih banyak yang tidak mengindahkan himbauan pengelola area wisata dengan mempertaruhkan nyawa mereka. Tidakkah mereka melihat bendera merah (dengan tulisan ‘Dilarang Berenang’) yang ditancapkan dalam-dalam di area pantai dengan zona-zona berbahaya? Tidakkah mereka mendengar raungan sirine dan pengumuman tentang larangan berenang yang berulang-ulang? Bukankah mereka datang ke Pantai dan berlibur untuk menikmati kegembiraan dan bukan hendak menyongsong maut?
Saya bisa membayangkan kepadatan Pantai Pangandaran saat liburan tahun baru. Pengunjung pasti berjejal. Hotel-hotel dan penginapan memasang tanda ‘Penuh’ di pintu masuk masing-masing. Kemacetan pasti terjadi di setiap ruas jalan area wisata, dipenuhi jejalan kendaraan yang hilir-mudik, berpadu dengan ribuan manusia yang berbagi keceriaan.
Seminggu sebelumnya saya berada di sana, menikmati libur panjang pada momen Natal. Saat itu pengunjung Pantai Pangandaran sudah cukup padat, sehingga saya bisa membayangkan suasana tahun baru di sana akan menjadi seperti apa.
Saat itu, sepanjang bibir pantai tak pernah sepi. Dari pagi sampai sore. Ribuan wisatawan turun melaut, bermain air, bermain pasir, dan tentu saja … berenang! Hey, kita ke pantai memang untuk itu, bukan? Tak sekalipun saya melihat wajah murung dari wisatawan, semuanya terlihat senang dan bergembira. Ini adalah liburan, sudah semestinya beban pikiran disingkirkan jauh-jauh.
Dan, karena itulah, sudah semestinya kita tidak datang untuk mengantarkan nyawa.
Saya begitu miris melihat banyak wisatawan yang tengah asyik berenang padahal bendera merah, tanda larangan berenang, berkibar begitu gagah di dekat mereka. Saya merasa ikut terabaikan saat mobil balawista hilir-mudik, meraungkan sirine dan pengumuman untuk tidak berenang terlalu jauh, seolah bukan hal yang penting untuk didengarkan. Beberapa kali saya menarik lengan dua orang bocah balita yang sempat terempas ombak, lalu saya celingukan dengan cemas untuk mencari di mana kedua orang tua mereka berada. Saya cukup geram melihat tak seorang pun yang datang untuk menjemput dua bocah itu. Dua bocah itu dibiarkan berenang sendiri di zona berbahaya tanpa pengawasan? Astaga!
Sebagai lokasi wisata pantai, tentu Pangandaran sudah berbenah. Lokasi aman untuk berenang sudah disiapkan di zona Pos I dan Pos II. Anggota Badan Penyelamat Wisata Tirta (Balawista) pun dikerahkan untuk bersiaga penuh. Keberadaan Pos-Pos Balawista tersebut tentu saja untuk meminimalisir kejadian yang tidak diharapkan.
Bukankah ada Balawista kalau terjadi sesuatu? Semoga hal itu tidak terbersit sedikit pun di benak anda. Kecelakaan itu bukan sebuah permainan yang menyenangkan. Anggota Balawista disiapkan untuk membantu, mengingatkan, menolong, atau melakukan penyelamatan. Tapi Balawista bukan Tuhan yang dapat menjaga nyawa setiap orang.
Masih berkaitan dengan liburan maut saat tahun baru, saya sempat membaca tiga orang korban yang meninggal akibat tergulung ombak di sebuah pantai di Yogyakarta (Koran Pikiran Rakyat edisi awal Januari 2013 kalau tidak salah). Tahukah anda kalau salah seorang korban tersebut adalah anggota Balawista? Saat dua orang tergulung ombak, seorang anggota Balawista menderukan jet ski-nya untuk menolong mereka. Alih-alih dapat menyelamatkan keduanya, ombak besar susulan menghantam jet ski tersebut dan menenggelamkan pengendaranya. Tiga orang sudah menjadi korban. Inalillahi.
Keteledoran dan ketidakpedulian wisatawan begitu terasa. Mengutip dari pangandaranbeach.com, Ketua Balawista Pangandaran, Dodo taryana, mengatakan; “Sudah dipasang bendera merah, ternyata masih banyak juga wisatawan yang berenang di tempat tersebut. Kami tidak henti-hentinya mengingatkan mereka agar segera mencari lokasi yang lebih aman. Tempat tersebut berbahaya, karena adanya arus balik yang kuat.”
Kalau sudah seperti ini siapa yang rugi? Penyesalan selalu datang terlambat. Daripada liburan berakhir menyedihkan, bukankah semestinya kita bisa lebih mawas diri. Aturan dan peringatan yang disampaikan tentu bukan tanpa dasar untuk diterapkan. Semua untuk kenyamanan kita bersama, dan untuk kegembiraan kita juga. Sudah semestinya liburan kita berakhir dengan suka cita.
Mari kita liburan lagi dengan lebih bijak! ^_^
Komentar