Kampung Naga: Kesederhanaan di Tengah Modernisasi

Indonesia itu memang indah, meski terkadang kita selalu meluputkan keindahan yang justru ada di sekitar kita. Pada saat musim liburan tiba, yang ada dalam pikiran selalu; “liburan ke mana kita kali ini?”. Destinasi Bali, Yogya, Puncak, Dufan, dan destinasi populer lain hilir mudik di dalam kepala. Pada saat budget tidak memungkinkan, hanya kekecewaan yang akan kita dapatkan karena hanya keluhan yang kemudian terlontar; “yah, nggak jadi liburan dong kali ini?”.



Setidaknya itulah yang pernah saya rasakan. Hehehe. Terkadang saya terlalu buta untuk melihat potensi yang ada di sekeliling saya. Padahal wisata murah meriah bukan berarti tidak berkesan. Ada kalanya kenikmatan datang dari sesuatu yang tidak perlu merogoh kocek terlalu dalam. Hmm … Dan, saya pun mulai melirik destinasi wisata di sekitar saya. Ada apa sajakah? Saya pun membuat daftar ringkas hingga akhirnya membulatkan pada sebuah titik. Tujuan pertama saya adalah … Kampung Naga!

Dengan lokasi yang hanya ’selemparan batu’ dari rumah, mungkin anda akan mengira saya sudah menyia-nyiakan salah satu daya tarik hebat wisata lokal negeri ini. Tenang, saya sudah pernah ke Kampung Naga, kok. Duluuu … saat masih SMA! Hehehe … Lalu saya pikir, kenapa saya tidak bertandang ke sana lagi? Kalau dulu dengan rombongan sekolah, sekarang saya bisa napak tilas dengan anak-anak saya. So? Berangkaaaat…

And the story goes …

Dari atas ketinggian itu, pandangan saya langsung tertuju pada segerombol atap ijuk abu-kehitaman di kejauhan. Sangat kontras dengan rerimbunan hijau nan subur di sekelilingnya. Subhanallah … siapa sangka dibalik jalan besar penghubung antar kota, dibalik bangunan rumah-rumah pinggir jalan yang terlalu biasa kita lihat, tersimpan sebuah keindahan luar biasa seperti itu. Ada kesederhanaan tersirat di sana, sekaligus ketenteraman yang menyejukkan.

Bersama Pak Tatang, Pemandu yang menemani saya

Kampung Naga, ke tempat itulah kaki saya kemudian melangkah, menuruni ratusan anak tangga di lahan berbukit dengan kemiringan 45 derajat. Sungguh bukan hal yang mudah menapaki deretan tangga yang curam seperti itu, apalagi buat mereka yang tak terbiasa turun-naik bukit. Menurut Pak Tatang, pemandu yang menemani saya siang itu, anak tangga yang harus dilalui sebanyak 439 buah dengan kisaran jarak tempuh 400 meter lebih. Yang unik, jumlah anak tangga ini –konon– selalu berubah-ubah setiap kali ada yang mencoba menghitungnya. Menyingkapi hal ini, Pak Tatang hanya tersenyum. “Jangan kait-kaitkan dengan mistis,” ujarnya, “bisa saja karena jumlah anak tangganya yang sangat banyak dan juga medan yang terjal, pengunjung yang menghitung sudah kecapaian di tengah jalan, lalu konsentrasi hitungannya menjadi tidak fokus lagi.”

Seperti dituturkan Pak Tatang, Kampung Naga adalah kampung adat yang masih memegang adat istiadat dan tradisi leluhur secara turun temurun. Meski arus modernisasi begitu gencar menyerbu dari segala sisi, masyarakat Naga tetap bergeming dengan kepatuhannya terhadap adat dan tradisi. Hal ini langsung terlihat saat memasuki wilayah kampung. Nuansa tradisional dan jauh dari kekinian begitu terasa di area seluas 1,5 hektare ini, yang kemudian sering disebut sebagai Kampung Adat. Lihat saja dari bentuk bangunannya yang tak tersentuh polesan modernisasi. Seluruh bangunan terbuat dari bahan bambu dan kayu, dengan beratapkan ijuk tebal.  Tidak ada nuansa warna-warni cat di setiap dinding rumah, yang ada hanyalah polesan kapur putih atau justru memertahankan warna kayu yang terpasang. Begitu sederhana.



Semua bangunan berkonsep rumah panggung, disangga bongkahan batu besar di setiap penjuru bangunan, yang bahkan hanya menancap tidak lebih dari 5 sentimeter saja ke dalam tanah sebagai pondasi. “Bangunan di Kampung Naga selalu diibaratkan sebagai bentuk tubuh manusia,” papar Pak Tatang. “Atapnya sebagai kepala, bangunannya sebagai badan, dan batu penyangga sebagai kaki.” Meski terlihat sederhana dan rapuh, tidak ada bangunan di Kampung Naga yang rubuh saat gempa besar skala 7,2 richter tempo hari mengguncang Tasikmalaya. Padahal, banyak bangunan permanen di sekitar area Tasikmalaya dan Garut justru mengalami kerusakan parah. Disampaikan Pak Tatang,  justru dengan pondasi seperti itu, guncangan bumi yang terjadi tidak mengakibatkan kerusakan bangunan seperti halnya apabila pondasi tertanam terlalu dalam.

Rasanya tidak berlebihan kalau model rumah Sunda seperti di Kampung Naga ini pada akhirnya banyak diadopsi orang pada saat mendirikan bangunan. Sebuah keuntungan juga bagi warga warga Kampung Naga yang kemudian dipercaya sebagai ahli bangunannya. Banyak tempat makan dan cafe mewah di Bandung yang mempercayakan konsep pembangunannya kepada ahli bangunan dari warga Kampung Naga, tentunya dengan mengusung keunikan, kenyamanan dan keamanan bangunan tersebut.


Secara administratif, Kampung Naga terletak di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Berada di lintasan jalan utama Garut - Tasikmalaya, Kampung Adat Naga hanya memiliki lahan seluas 1,5 hektare yang dijadikan sebagai areal pemukiman untuk 314 jiwa dari 100 keluarga. Total ada 103 bangunan yang terdiri dari 100 bangunan rumah, dan 3 bangunan fasilitas umum; Masjid, Balai Pertemuan, dan Lumbung Umum. Untuk membatasi 1,5 hektare tanah adat ini dipasang pagar bambu pendek sebagai penanda di sekeliling area. Di lahan inilah adat dan tradisi ini menjadi sesuatu yang wajib dilaksanakan oleh seluruh keturunan Kampung Naga.

Sebagai Kampung Adat, keunikan pun terlihat dari susunan rumah yang terbangun. Masing-masing rumah dibangun menghadap utara dan selatan, saling berhadapan satu sama lain (dan saling membelakangi terhadap barisan rumah berikutnya).  Setiap rumah tidak memiliki pintu belakang, karena kepercayaan mereka untuk tidak membangun pintu yang berada pada dua arah berlawanan atau dalam satu garis lurus, yang memungkinkan rezeki yang masuk melalui pintu depan akan keluar dari pintu belakang. Yang saya jumpai, posisi ruang tamu dan dapur masing-masing bersebelahan di bagian depan, sehingga pintu keduanya tampak bersisian.

Lesung untuk menumbuk padi menjadi beras
 Setiap rumah di Kampung Naga tidak memiliki perabotan di dalam rumah. Tidak ada kursi, meja, tempat tidur, maupun perabotan rumah tangga lainnya. Untuk memasak pun masih menggunakan tungku manual dengan kayu bakar. Bahkan masyarakat Naga tidak menggunakan listrik meski Pemerintah Daerah sudah siap menyediakan fasilitas tersebut. Meski secara materi warga mampu untuk membangun rumah bertembok atau membeli perabotan, tapi hal itu tidak dilakukan. Dibalik itu semua, banyak kearifan yang membuka mata saya lebar-lebar.

Leluhur Warga Kampung Naga tidak semata-mata menerapkan sesuatu kebiasaan kalau tidak ada manfaatnya. Contohnya penggunaan ijuk untuk atap rumah. Ijuk memberikan rasa dingin dan adem saat siang hari, dan rasa hangat pada malam hari. Bahkan ijuk yang digunakan sebagai atap ini bisa bertahan sampai 40 tahun. Dengan nilai yang jauh lebih ekonomis dibandingkan genting, ternyata manfaat dan ketahanannya pun dapat diandalkan.

Begitu pula dengan perabotan. Masyarakat Naga tidak membeda-bedakan tamu yang datang ke rumah, sebagaimana halnya semua manusia memiliki derajat yang sama di mata Sang Pencipta. Filosopi yang kemudian disampaikan begitu sederhana, tetapi memiliki makna yang dalam. Apabila rumah diisi kursi dan perabotan, kemudian dikunjungi tamu dengan jumlah yang banyak, tak pelak lagi sebagian ada yang duduk di kursi dan sebagian duduk di bawah. Itu sudah menandakan adanya pembedaan terhadap tamu. Dengan ruang yang lapang (tanpa perabotan), tamu yang tertampung bisa lebih banyak dan duduk sejajar sama-sama tanpa ada yang lebih diistimewakan. Begitu pula apabila ada tamu yang menginap, ruangan yang lapang memungkinkan menampung lebih banyak tamu. Sampai saat ini, sudah tidak terbilang Pejabat Teras Pemerintahan dari seluruh penjuru tanah air dan luar negeri, selebritas, pelajar dan mahasiswa, serta masyarakat umum yang pernah tinggal berbaur dengan masyarakat Naga. Semuanya diperlakukan sama, tanpa mengenal pangkat dan popularitas seseorang. Semua pangkat dan gelar sudah luruh seutuhnya pada saat mereka memasuki areal kampung adat.

Wujud rumah pun menunjukkan sikap kesederhanaan dan lebih terasa membaur dengan alam, sebagaimana manusia adalah bagian dari alam itu sendiri. Unsur-unsur alam begitu melekat pada setiap bagian rumah; kayu, bambu, ijuk, dan batu. Namun, bukan berarti warga Kampung Naga bisa seenaknya saja mengambil materi di hutan untuk dipergunakan sebagai bahan bangunan. Warga Kampung Naga memiliki lahan tersendiri yang ditanami pepohonan untuk kebutuhan kayu dan bambu ini. Bahkan kayu bakar yang digunakan untuk alat memasak pun diambil dari lahan khusus ini. Mereka membiarkan hutan yang ada tetap seperti apa adanya, tanpa pernah ada niatan untuk merusaknya. Apalagi ada beberapa areal hutan yang dikeramatkan sehingga benar-benar dijaga keutuhan dan kelerstariannya.

Konsep kebersihan lingkungan Kampung Naga sudah tertanam semenjak dini. Setiap rumah tidak memiliki toilet atau kamar mandi sendiri. Untuk kebutuhan mandi dan buang air, setiap warga harus menuju kakus umum yang berada di luar tanah adat. Demikian pula untuk bangunan kandang ternak atau kolam ikan, yang menjadi mata pencaharian tambahan warga, diletakkan di luar batas area pagar. Dengan demikian, 1,5 hektare tanah adat benar-benar difungsikan sebagai lahan pemukiman yang sangat terjaga kebersihannya.

Sumber Penyebaran Agama Islam

Masyarakat Kampung Naga adalah pemeluk agama Islam. Sebuah masjid berdiri di tengah-tengah kampung, bersebelahan dengan Balai Pertemuan Warga. Di sinilah segala kegiatan terpusat. Konon, di Kampung Naga inilah agama Islam di wilayah barat bermula, saat Syeh Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal Sunan Gunung Jati mengutus abdinya, Singaparana, untuk menyebarkan agama Islam di kawasan Barat. Di Kampung Naga inilah akhirnya Singaparana, dan kemudian dikenal sebagai Sembah Dalem Singaparana, akhirnya berdiam dan memulai penyebaran Islam. Bermula dari Singaparana inilah silsilah Kampung Naga dimulai. Nama Singaparana sendiri sekarang digunakan sebagai nama daerah, yaitu Kecamatan Singaparna, sekaligus menjadi ibukota Kabupaten Tasikmalaya, sekitar 30 kilometer dari Kampung Naga.

Masjid Kampung Naga

Kebenaran kisah ini dijawab senyuman oleh Pak Tatang. Beliau tidak dapat mengiyakan atau bahkan menolak kebenaran silsilah ini. Bagaimanapun, menurutnya pihak sesepuh Kampung Naga selalu menghargai setiap pendapat yang mengisahkan keberadaan Kampung Naga ini. Adapun seluruh dokumen, yang diantaranya bisa saja mengisahkan tentang cikal bakal keberadaan Kampung Naga di tatar Sunda ini, ikut musnah saat terjadi pemberontakan DI/TII di Jawa Barat paska Perang Kemerdekaan. Banyak kampung yang dibumihanguskan, termasuk Kampung Naga salah satunya. Bahkan tidak hanya dokumen-dokumen penting yang menjadi korban, tetapi juga korban jiwa para sesepuh Kampung Naga. Kejadian ini memutuskan segala informasi sejarah yang berkaitan dengan silsilah awal keberadaan Kampung Naga bagi keturunannya.

Mata Pencaharian

Mata pencaharian masyarakat Naga yang utama adalah bercocok tanam. Dengan luas kampung adat yang tidak terlalu besar, di mana letak sawah dan kebun mereka? Seperti disampaikan sebelumnya, wilayah kampung adat seluas 1,5 hektare hanya digunakan untuk wilayah pemukiman saja. Lahan usaha setiap warga dilakukan di luar wilayah tersebut. Sesepuh Kampung Naga tidak pernah membatasi lahan usaha masyarakat Naga. Meski pesawahan di sekitar kampung adat banyak dimiliki masyarakat Naga, bukan berarti mereka tidak bisa memiliki lahan di lokasi lain yang lebih jauh. Dan itu selalu dimungkinkan dan sangat diperbolehkan. Sesepuh Kampung Naga tidak akan menutup pintu rezeki masyarakatnya, dari mana pun pintu rezeki itu mengalir.

Kerajinan yang dijual untuk wisatawan (tidak termasuk modelnya)

Sifat gotong royong dan kebersamaan yang sudah ditanamkan sejak dulu membuat masyarakat Naga tak pernah lupa untuk menyisihkan sebagian hasil panen untuk kepentingan umum. Karena itu, selain memiliki lumbung masing-masing di setiap rumah, Kampung Adat memiliki Lumbung Umum tersendiri. Sisihan hasil panen setiap warga ini disimpan di dalam lumbung ini dan dipergunakan untuk kepentingan bersama, misalnya untuk sajian menyambut tamu, atau upacara-upacara adat yang diselenggarakan.

Yang menarik, kalau kita baru mengenal beras organik belakangan ini, masyarakat Naga sudah melaksanakannya dari awal. Tak ada pupuk atau bahan kimia yang digunakan untuk pengelolaan tanaman mereka. Bahkan untuk menghindari hama yang biasa menyerang tanaman, masyarakat Naga mengenal sistem tanam JANLI (Januari – Juli). Mereka menanam padi dua kali dalam setahun, setiap bulan Januari dan Juli, yang dipercaya sebagai bulan-bulan bersih dari hama. Ketimbang membunuh hama dengan bahan kimia, mereka cenderung menghindari penanaman saat-saat hama biasanya datang menyerang. Terbukti sistem ini berhasil dan dilaksanakan sampai saat ini.


Mata pencaharian lainnya diperoleh dari usaha ternak, budidaya ikan, dan menjual keahlian. Selain dikenal sebagai ahli bangunan yang handal, masyarakat Naga pun memiliki keterampilan membuat berbagai jenis kerajinan tangan. Dengan semakin banyaknya pengunjung yang datang ke Kampung Naga, berbagai kerajinan tangan unik pun menjadi buruan para pengunjung. Tidak heran apabila saat ini di depan rumah-rumah warga tertata sejumlah pajangan kerajinan untuk dijual.

Adapun untuk masyarakat keturunan Naga yang sudah tinggal di luar wilayah Kampung Adat atau merantau di kota lain, beragam profesi pun menjadi mata pencaharian mereka, mulai dari karyawan pemerintahan, karyawan swasta, maupun bekerja di sektor-sektor industri lainnya.

Kehidupan Sosial dan Seni
Masyarakat Kampung Naga bukanlah masyarakat yang tertutup. Meski tetap mempertahankan adat dan tradisi, mereka selalu terbuka terhadap perubahan. Hanya saja mereka harus memilah mana yang harus diikuti dan bisa diterapkan ke dalam budaya yang sudah ada, dan mana yang hanya sekadar untuk diketahui saja. Anak-anak masyarakat Naga tetap bersekolah di luar lingkup Kampung Adat. Bahkan tidak sedikit yang melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Warga keturunan Kampung Naga yang mendiami Kampung Adat saat ini hanya sekitar 3% dari total keturunan masyarakat Naga yang ada. 97% lainnya berada di luar wilayah, entah masih di wilayah sekitar, atau bahkan sudah merantau ke kota-kota lainnya. Tentu saja hal ini terjadi karena Kampung Adat tidak bisa menampung jumlah warga keturunan Naga yang semakin membesar. Untuk mereka yang kemudian melangkahkan kaki ke luar kampung adat, tidak ada keharusan untuk membawa budaya Naga ke tempat yang mereka tinggali. Misalnya, pembuatan rumah tidak selalu harus terbuat dari bambu dan kayu beratapkan ijuk. Mereka dibebaskan untuk membangun rumah mengikuti kebiasaan yang ada di daerah tersebut, misalnya menggunakan tembok dan beratapkan genting. Demikian pula dengan kebiasaan lainnya. Di sinilah falsafah ‘di mana bumi dipijak, di sana langit dijunjung’ diberikan oleh sesepuh Kampung Naga kepada warganya. Hanya saja ditekankan agar mereka tetap tidak melupakan asal-usul mereka, karena darah mereka tetap saya mengalir dari leluhur masyarakat Naga.

Di Kampung Naga sendiri terdapat beberapa jenis kesenian, di antaranya Angklung dan Terbang Sejak. Kedua jenis kesenian ini besifat hiburan dan bisa dimainkan kapan saja. Berbeda dengan kesenian Terbang Gentung yang hanya bisa dimainkan pada waktu-waktu tertentu saja terkait dengan acara keagamaan. Terbang Sejak dan Terbang Gentung adalah kesenian dengan alat musik serupa rebana. Hanya saja alat musik untuk Terbang Sejak terdiri dari beberapa susunan alat musik berbagai ukuran, dari yang kecil sampai besar, sedangkan Terbang Gentung mempergunakan alat musik yang berukuran besar semua. Sejak kecil, setiap anak di Kampung Naga dikenalkan dengan jenis-jenis kesenian ini.

Kamu muda Masyarakat Naga diperbolehkan mengenal budaya dan seni yang tidak terdapat di lingkup terbatas mereka, misalnya pencak  silat, musik dangdut, rock, pop atau bahkan mengenal dan menguasai alat musik lain pada umum. Hanya saja, saat mereka kembali ke tanah adat, mereka tidak jadi lupa terhadap seni musik leluhur mereka. Selain itu, jenis-jenis kesenian dari luar ditabukan untuk dimainkan di wilayah Kampung Adat. Karena itu tidak heran kalau pengunjung yang memasuki Kampung Naga tidak diperbolehkan membawa alat musik apapun, atau memperdengarkan musik dan lagu dari alat apapun.

Rasanya tak habis-habis saya menikmati keunikan budaya masyarakat Kampung Naga. Kaki seolah tak lelah menyusuri setapak yang tersusun dari deretan batu yang tertata rapi. Mata tak lepas penuh kekaguman atas keunikan bangunan yang tersaji, kebersihan di setiap sudut halaman, dan senyum ramah dari setiap warga yang kami lewati. Tak cukup hanya sehari untuk menjelajahi setiap sudut budaya yang belum terungkap. Saya yakin masih banyak kearifan lokal yang tersimpan di balik setiap sudut dan bagiannya.
Kaki saya melangkah meninggalkan batas pagar Kampung Adat, kembali menyusuri tepian sungai Ciwulan yang mengapit sisi timur Kampung Naga, memandangi luasnya pesawahan hijau dan rerimbunan pohon di arah selatan, untuk kembali bersiap menapaki ratusan anak tangga yang terjal menanjak.

Informasi Tambahan
1.    Tugu/Monumen Kujang Pusaka

Monumen Kujang Pusaka
Di lapangan parkir, sebelum menuju ratusan undakan tangga, kita akan dihadapkan pada sebuah Monumen Kujang Pusaka. Monumen ini diresmikan oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan, pada tanggal 16 April 2009. Di atas tugu ini terdapat sebilah kujang (senjata tradisional Jawa Barat) raksasa bersepuh emas, dan merupakan Monumen Pusaka Terbesar di Dunia. Yang menarik, kujang tersebut dibentuk dari leburan kurang lebih 900 buah benda pusaka peninggalan raja-raja Sunda dan Nusantara. Pembuatan kujang raksasa ini dilaksanakan di Solo selama 39 hari dan dikerjakan oleh 9 orang Empu. Bagian bawah monumen, terdapat ruangan kecil yang berisi beberapa benda pusaka dari berbagai daerah di Indonesia. Sayangnya benda-benda pusaka tersebut tidak boleh didokumentasikan kamera.

2.    Museum Benda Pusaka

Museum Benda Pusaka
Tepat di depan Monumen Kujang Pusaka, terdapat sebuah mini museum berisi berbagai jenis senjata tradisional dari berbagai masa dan daerah. Misalnya keris pada zaman kerajaan Majapahit, kujang pada zaman kerajaan Padjajaran, rencong, tombak, dan berbagai jenis senjata lainnya dari seluruh penjuru nusantara. Terdapat pula replika-replika benda tersebut yang diperjualbelikan dengan dilampirkan sertifikat khusus.

3.    Pemandu Wisata
Tidak mudah untuk menjadi Pemandu Wisata di Kampung Naga ini. Persayaratan utama tentunya masih harus keturunan masyarakat Naga. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah setiap Pemandu Wisata harus ditunjuk langsung oleh Kuncen  Kampung Naga, dan bukan atas dasar keinginan sendiri. Menjadi Pemandu Wisata sama dengan memegang amanah untuk memberikan informasi yang benar dan akurat kepada pengunjung serta menjalin tali silaturahmi.

Karena tidak seluruh areal Kampung Adat bisa dimasuki secara bebas, sebaiknya gunakan jasa pemandu wisata ini apabila berkunjung. Selain itu, informasi yang diperoleh pun akan jauh lebih banyak ketimbang menjelajahi Kampung Adat tanpa pemandu.

4.    Bagaimana Menuju Kampung Naga

Dari arah Jakarta/Bandung bisa menggunakan bus arah Tasikmalaya via Garut/Singaparna, turun di daerah Neglasari-Salawu/Gerbang Masuk Kampung Naga. Tidak ada angkutan umum yang tidak mengenal daerah ini. Jarak tempuh dari Bandung kurang lebih 2 jam.

5.    Tiket Masuk
Memasuki Kampung Naga tidak dikenakan bayaran alias gratis. Pengunjung yang menggunakan kendaraan roda empat hanya dikenakan tarif parkir sebesar Rp. 7.000,- yang dikelola oleh Layanan Parkir Khas Adat Neglasari. Setiap pengunjung diharapkan mengisi buku tamu yang tersedia di bale-bale Balai Pertemuan, sebelah Masjid. Ada kolam terapi ikan untuk pengunjung yang berminat. Gratis. Bisa pula ikut memberi makan ikan dengan terlebih dahulu membeli secara self-service pakan ikan yang tersedia di saung. Rp. 1.000,- per kantung.

Hmmm … setelah ini, jalan-jalan ke mana lagi, ya?

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah NooR edisi November 2012 dan di Kompasiana

Komentar

borescope mengatakan…
kerenn banget ya kampung naga hihihi
timbangan mengatakan…
bagus banget deh kampungnya mantap
Iwok mengatakan…
@borescope & Timbangan - betul, asli keren banget :)
majelis penulis mengatakan…
Saya juga terpesona di Kampung Naga, luar biasa.... Untuk Admin boleh lah share ilmu menulisnya... www.majelispenulis.blogspot.com
Iwok mengatakan…
@majelis penulis - terima kasih atas komennya. Tips menulis sudah saya share dengan label 'tips menulis' ya. semoga bermanfaat :)
Vertical blind mengatakan…
baru tau sama kampung yang satu ini. harus di cari tau lebih lanjut nih. kampung naga :D
Iwok mengatakan…
Ayo berkunjung ke Kampung Naga :)
KIKI WISERMAN mengatakan…
Mantap banget.. wisata indonesia kerren.. jalan jalan men
Iwok mengatakan…
betul, indonesia memang keren!

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban Itu Ada; Bocil Sembuh dari Panleukopenia

Digitalisasi Usaha untuk Bertahan di Masa Pandemi

[Tips Menulis] Ketebalan Sebuah Naskah Novel?