[Buku Baru] Menggapai Rembulan
Penerit Andi - Rp. 24.000,- |
“Kamu dinamai Rembulan, karena Abah dan Emak ingin kamu pun bisa seperti rembulan,” lanjut Abah, “tidak hanya cantik dipandang, tapi juga memberikan terang bagi alam di sekitarnya. Abah dan Emak pun ingin agar kamu dapat memberikan terang bagi keluarga kita.”
Tidak ada satu orang tua pun yang tidak menginginkan kebahagiaan buat anaknya. Semua berharap hal yang sama; kebahagiaan, kesehatan, dan tentu saja masa depan yang lebih baik. Tidak terkecuali bagi Abah, ayah Bulan. Keluarga mereka memang jauh dari kata sederhana. Untuk hidup sehari-hari, Abah harus mengayuh becak sampai malam, mencari penumpang yang masih membutuhkan jasanya. Emak harus rela banting tulang menjadi buruh cuci, bahkan saat tengah hamil adik Bulan. Mereka tinggal di sudut sebuah pemakaman umum.
Bulan ingin jadi guru. Dia ingin memberikan kebahagiaan buat Abah, Emak, dan adik-adiknya. Karena itu dia harus rajin sekolah dan belajar. Dia ingin mewujudkan harapan Abah dan Emak, agar menjadi penerang bagi keluarganya. Tetapi, bagaimana kalau harapan itu akhirnya harus terputus?
Emak sakit parah. Abah berutang besar untuk biaya perawatan Emak.
Abah merangkul Bulan, lalu mendekapnya erat. “Kamu masih ingat Bu Mira? Dia butuh orang yang membantunya di rumah. Pembantunya mengundurkan diri seminggu lalu. Sekarang dia sedang mencari pembantu baru. Bulan mau... kerja di sana? Di rumah Bu Mira?”
Bulan melepaskan pelukan Abah. Perasaannya mulai tidak enak.
“Bagaimana dengan sekolah Bulan?” lidah Bulan terasa kelu.
Abah menarik napas lagi sebelum mengembuskannya dengan berat. “Kamu tidak keberatan kan berhenti sekolah?”
Mata Bulan terbelalak. Jantungnya seolah berhenti saat itu juga.
Apa yang harus dilakukan Bulan? Dia hanya bisa pasrah. Kalau membantu Abah dengan cara bekerja sebagai pembantu rumah tangga dapat menjadi penerang bagi keluarganya, Bulan ikhlas. Tapi, bukankah dia sedang bersiap untuk mewakili sekolahnya dalam Story Telling Contest? Haruskah dia melepaskan kesempatan untuk memberikan kebanggaan buat Abah dan Emak lewat prestasi yang mungkin bisa diraihnya?
Mata Bulan mengerjap basah. Mungkin saat ini, dan dengan cara seperti ini, dia bisa menjadi terang bagi keluarganya, saat keluarga membutuhkan bantuannya. Bulan ingin memenuhi harapan Abah dan Emak, yang menginginkan Bulan akan selalu menerangi rumah ini. Mungkin sekaranglah saatnya yang tepat untuk berbakti kepada mereka.
Di atas kasur busanya yang tipis dan dingin, isakan Bulan masih terdengar pelan. Bulan teringat, Abah dan Emak bahkan belum sempat diberitahu tentang dirinya yang terpilih jadi wakil sekolah dalam sebuah lomba! Apakah sekarang kabar itu masih tetap menjadi sebuah kabar gembira? Bahkan mungkin sudah tidak penting lagi. Bulan hanya bisa terisak lebih panjang.
Bulan selalu menunggu malam. Dia selalu menunggu rembulan datang dan bersinar. Hanya pada rembulan lah dia bisa bercerita, menumpahkan seluruh keluh dan kesahnya. Dia teringat perkataan Abah;
“Kamu tahu, Lan,” ujar Abah pelan. “Orang-orang selalu bilang, gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Nah, kamu bisa menggantungkan cita-citamu pada rembulan. Kejar dan gapailah rembulan, karena di sanalah cita-citamu berada.”
“Tapi rembulan kadang selalu pergi, Bah.”
“Tidak apa, dia pasti akan kembali.”
Bagaimana dengan nasib Bulan? Apakah dia harus menghapus cita-citanya dan melupakan semua mimpinya?
Catatan Penulis
Ternyata masih banyak anak-anak Indonesia yang masih belum beruntung mendapatkan pendidikan dengan 'tekanan ekonom' yang mayoritas menjadi batu sandungan. Televisi dan media massa tak pernah berhenti mengabarkan tentang itu, bagaimana masa depan anak-anak ini terbuang di jalanan atau di tempat yang tidak semestinya mereka jejak.
Di sudut-sudut pelosok tanah air, ribuan anak Indonesia harus melalui perjuangan berat untuk sampai di sekolah. Mereka harus membelah gunung dan bukit, menerobos hutan, menyeberangi arus sungai, bahkan harus berangkat dari rumah sejak pagi buta. Rasanya miris melihat bagaimana anak-anak yang berkesempatan menuntut ilmu dengan mudah justru banyak yang mengabaikan keberuntungan mereka.
Besar harapan saya novel ini bisa dibaca banyak anak, dan menyadari bagaimana beruntungnya mereka dengan kemudahan yang sudah mereka peroleh. Setelah itu, mudah-mudahan novel ini dapat menginspirasi serta membangkitkan semangat seluruh anak-anak Indonesia untuk tetap belajar, rajin bersekolah, dan mengejar cita-cita serta mimpi mereka. Insya Allah. :)
Komentar