#10DaysforASEAN - Nyalon, Yuk?

#Day1

Thailand tampaknya sudah mulai mengukuhkan diri menjadi salah satu barometer pusat kecantikan di kawasan Asia. Salon-salon kecantikan dengan ahli-ahli berbekal medis (maupun tidak) seolah menjamur di setiap sudut kota di negara itu. Tak heran kalau pemerintah Thailand seolah menjadikan bidang ini menjadi salah satu daya tarik tambahan untuk menarik semakin banyak pelancong dari luar negeri. Sekarang ini, tidak lagi wisata alam atau kuliner yang dijadikan objek wisata unggulan Thailand, melainkan juga wisata medis (kecantikan)! Hebat kalau saya bilang, karena mereka tahu bagaimana memanfaatkan segala sumber daya yang ada untuk dijadikan peluang devisa.

image dari lovelytoday.com
Kehebatan ahli kecantikan Thailand merebak ke tanah air. Dari beberapa tayangan infotainment di televisi, beberapa selebritis tanah air tidak sungkan untuk mengatakan bahwa mereka sudah melakukan perawatan kecantikan maupun bedah plastik di negara gajah putih tersebut. Saya yakin, kehebatan ahli kecantikan Thailand ini tidak hanya menarik kaum selebritas saja, melainkan juga para sosialita tanah air lainnya.

Mengapa Thailand? Saya bukan ahli kecantikan. Tapi harus saya akui Thailand tidak salah kalau disebut memiliki ahli-ahli kecantikan terbaik. Jangankan bisa membuat perempuan-perempuan menjadi cantik, mereka pun bisa menyulap lelaki berkumis dan berjakun pun menjadi bening dan tampak menawan. WAW! Saya berkesempatan berkunjung ke Bangkok beberapa bulan lalu dan harus mengakui bahwa itu memang benar. Lelaki-lelaki cantik lalu-lalang di mana-mana. Bukan hanya di pertunjukkan-pertunjukkan kabaret (seperti Calypso Ladyboy Cabaret) yang menjadi salah satu atraksi populer di sana, tetapi juga berbaur di masyarakat.

Ya, Thailand memang salah satu negara yang sudah menerima keberadaan ladyboy. Status transgender seseorang tidak lagi dipandang sebelah mata dan menjadi aneh di kalangan masyarakat di sana. Karena itu jumlah ladyboy di Thailand terbilang cukup banyak karena keberadaanya sudah diakui dengan status sosial yang tidak berbeda dengan warga negara lainnya. 

Nah, kalau lelaki saja bisa dibuat cantik bukan kepalang, apalagi perempuan yang sudah kodratnya memiliki garis-garis kecantikan dari lahirnya? Dari sini saja bisa kita lihat bahwa salon-salon dan ahli kecantikan di Thailand memang sudah memiliki jam terbang cukup tinggi untuk memoles dan menyulap penampilan fisik seseorang. Tidak tanggung-tanggung, keahlian mereka bahkan sudah dilengkapi sertifikat internasional! Ini menjadikan keahlian mereka bukan sekadar tenaga ahli abal-abal belaka.

Menjelang Komunitas Asean 2015 di mana pasar bebas akan masuk ke setiap negara Asean, tidak bisa dipungkiri kalau kehadiran salon dan ahli-ahli kecantikan Thailand bisa saja tiba-tiba hadir di sekeliling kita; di depan rumah, di ujung jalan, atau di pusat-pusat keramaian. Indonesia adalah salah satu pasar yang sangat potensial. Dengan jumlah penduduk (perempuan) yang sedemikian besar, siapa yang tidak tergiur untuk membuka peluang usaha itu di sini? Apalagi dengan reputasi ahli kecantikan Thailand yang sudah mendunia. Pun, masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif dan menganggap sesuatu yang berbau luar negeri itu pasti lebih hebat, menjadi sasaran empuk bagi investor luar negeri.

Tentu saja ini akan menjadi ancaman besar bagi salon dan ahli kecantikan dalam negeri. Bisakah mereka bersaing? Ini bukan masalah ringan karena kalau tidak disingkapi dengan baik, pengusaha salon-salon lokal bisa tergusur dan kalah bersaing. Tentu bukan itu yang kita inginkan. Kita tidak bisa menyalahkan konsumen apabila mereka berbondong-bondong beralih ke salon-salon Thailand yang nanti berdiri. Konsumen adalah raja. Mereka memiliki dana yang berhak dibelanjakan sesuka hati.

Berbenah, itu yang harus dilakukan sedini mungkin. Klise memang, tapi itu adalah langkah paling tepat yang harus dipersiapkan. 2015 tidak lama lagi, tapi bukan berarti kita harus duduk diam dalam ketakutan lalu pasrah. Semangat Komunitas Asean 2015 tidak seperti itu. Komunitas Asean 2015 justru mengobarkan semangat kompetisi tinggi. Bukan waktunya lagi seorang pengusaha (apa pun) untuk mempertahankan idealisme pribadi saat zaman tengah mengalami perubahan, dan berkutat dengan cara yang tak lagi sesuai. Yang sebaiknya dilakukan adalah bagaimana idealisme itu bisa bergerak dan menyesuaikan dengan arus yang ada.

image dari www.puspitaherbal.com
Kalau melihat modal-modal yang sudah ada, sebenarnya kita tidak perlu takut. Produk kosmetika dan kecantikan lokal cukup teruji dan berkualitas. Siapa tidak mengenal produk Mustika Ratu dan Sari Ayu? Dengan berbahan dasar ramuan tradisional, terbukti produk ini bisa menembus pasar dunia. Begitu pula dengan kekayaan herbal tradisional lainnya yang sudah terbukti dapat merawat kecantikan perempuan Indonesia. Ini tentu menjadi modal besar meningkatkan kepercayaan diri pengusaha salon kecantikan tanah air yang selama ini telah menggunakan kosmetika lokal. Produk kita bisa diadu, kok. Tapi tentunya itu tidak bisa dijadikan pegangan begitu saja, karena banyak faktor lain yang harus diperhatikan.

Setiap negara pasti memiliki keunggulan masing-masing. Yang perlu diperhatikan adalah, apa sih kelemahan kita? Kalau Thailand dikenal dengan ahli kecantikan yang sudah bersertifikat internasional, berarti itu yang harus kita kejar. Sertifikat memang hanya sebuah kertas, tapi itu adalah sebuah kepercayaan tinggi bagi konsumen. Sertifikat berarti ilmu pendidikan yang lebih bisa dipertanggungjawabkan secara nyata ketimbang ilmu pengalaman. Apakah pengusaha salon kecantikan kita sudah memiliki itu? Kalau ingin bersaing secara internasional, tentu bukan pengalaman lagi yang bisa diandalkan, tetapi dibarengi  dengan sertifikat keahlian.

Apalagi yang kurang? Apakah pengelolaan salonnya sudah baik? Apakah sisi pelayanannya sudah maksimal? Bagaimana dengan tarif pelayanan? Semua menjadi titik pemikiran yang tidak boleh diabaikan.

Dibutuhkan peran serta pemerintah yang cukup intensif untuk mengurai pekerjaan rumah ini satu per satu. Kalau Indonesia memang menginginkan seluruh lini masyarakat berada pada posisi siap berkompetisi, tentu tidak bisa melepas begitu saja. Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pemberdayaan Perempuan, Kementerian Perdagangan, dan seluruh departemen terkait harus bergandengan tangan memberdayakan setiap potensi yang ada. Adanya pelatihan-pelatihan profesi dan keahlian sangat diperlukan, sehingga setiap tenaga kerja yang berada dibalik pengelolaan sebuah salon kecantikan memiliki keahlian yang tepat bersertifikat. Begitu pula dengan kebutuhan adanya pelatihan manajemen dan pengelolaan usaha. Kalau perlu, studi banding ke negara-negara lain pun bisa dilaksanakan, sehingga setiap pengelola salon tanah air dapat memiliki wawasan lebih terhadap era persaingan yang harus mereka hadapi nanti. Dibutuhkan dana yang tidak sedikit memang, tapi bukankah kita bisa memetik hasilnya kemudian?

Pemerintah harus bisa menetapkan titik tembak juga bagi setiap pembekalan dan pelatihan ini. Pengusaha kecil dan menengah harus menjadi titik sasaran. Merekalah yang akan sangat merasakan imbas dari pertarungan tingkat global. Pengusaha besar pasti sudah melakukan antisipasi lebih awal menjelang Komunitas Asean 2015 ini, sehingga dampak bagi kalangan ini tidak sebesar bagi pengusaha di bawahnya.

Kalau semuanya bisa dilaksanakan, tentu persiapan para pengusaha salon kecantikan di tanah air akan lebih baik dalam menyambut Komunitas Asean 2015. Mereka sudah siap bersaing bahkan apabila salon dan ahli kecantikan dari Thailand datang menyerbu. Kalau kualitas dan segala hal lainnya sudah setara (atau bahkan lebih), rasanya tidak ada yang perlu ditakutkan lagi. Paling hanya konsumen yang akan dipusingkan harus ke salon mana mereka memilih? :D


Komentar

alee mengatakan…
Waaah, harus serius kayak gini ya ... hehehe. Maksudnya isinya serius? Hehe.
Iwok mengatakan…
Bebas kok mas, bl8g kan disesuaikan dgn gaya masing-masing . Hehehe
misfah mengatakan…
Kagum dengan Thailand ini dalam mengemas produk dalam negerinya untuk dipasarkan ke pasar Internasional kalau kita tidak berbenah kita bakal ketinggalan jauh

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban Itu Ada; Bocil Sembuh dari Panleukopenia

Digitalisasi Usaha untuk Bertahan di Masa Pandemi

[Tips Menulis] Ketebalan Sebuah Naskah Novel?