[Review] Sekotak Cinta untuk Sakina
Judul Buku : Sekotak Cinta untuk Sakina
Penulis : Irma Irawati
Penerbit : Qibla (Bhuana Ilmu Populer)
Cetakan : I/2013
Jumlah Halaman : 126
Sakina sedih dan kecewa. Hanya karena ayahnya sering berpindah lokasi kerja, dia harus dititipkan di sebuah pondok pesantren putri. Ya, Sakina akan menjalani hari-harinya dengan bersekolah dan tinggal di sebuah pesantren di pinggiran kota Bandung. Mama bilang, semua itu agar Sakina dapat berkonsentrasi belajar dan tidak terganggu sekolahnya karena harus sering berpindah-pindah.
Tentu saja Sakina berat menerima keputusan Mama dan Papa ini. Dia tidak ingin tinggal terpisah dari keluarga. Apalagi, pondok pesantren yang akan ditinggalinya tidak sebagus sekolah sebelumnya. Selain fasilitasnya yang tidak lengkap, lokasinya pun sepi dan jauh dari keramaian. Belum-belum Sakina sudah merasa tidak akan betah tinggal di sana. Karena itu, dia mulai menyusun skenario agar Papa dan Mama segera menjemputnya kembali dari pesantren.
Hari-hari pertama tinggal di pondok pesantren, Sakina mulai berbuat ulah. Dia tidak mau mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan di pondok. Sakina bahkan berani menyembunyikan handphonenya dan bermain game diam-diam. Padahal segala bentuk alat komunikasi dilarang digunakan selama berada di pondok. Sakina pun selalu malas-malasan di saat jam pelajaran atau bolos shalat berjamaah. Sakina ingin pulang ke rumah!
Tetapi, sebuah kejutan di hari ulang tahunnya membuat Sakina bimbang. Dia memperoleh hadiah Sekotak Cinta dari teman-teman sekamarnya. Selain itu, ternyata dia mulai melihat banyak hal yang menarik di sekeliling pondok.
Apa sebenarnya yang ada di dalam Kotak Cinta untuk Sakina, sehingga dia mulai bimbang untuk pulang? Lalu, siapa pula sosok Lana, gadis cilik yang membuat Sakina merasa iba, sekaligus sangat mengaguminya? Di tengah kebimbangannya, Mama dan Papa mengabarkan kalau mereka akan segera menjemput Sakina kembali dari pondok untuk tinggal bersama di Jakarta. Waduh?
Menarik sekali mengikuti kisah Sakina ini. Ceritanya mengalir dan mudah sekali diikuti. Sosok Sakina seolah mewakili anak-anak modern yang masih memandang pondok pesantren bukan sebagai sebuah pilihan untuk menuntut ilmu. Pesantren dianggap tempat yang tidak keren dan kampungan. Seperti pikiran Sakina yang selalu membandingkan pondok pesantren ini dengan Sekolah Dasar Islam Terpadu, tempatnya bersekolah sebelumnya, yang mewah dan lengkap.
Secara nyata, masih banyak orangtua dan anak-anak yang masih ragu memasuki dunia pondok pesantren. Padahal banyak hal yang bisa dipelajari di tempat ini, di antaranya kemandirian dan pelajaran budi pekerti. Melalui novel ini pembaca akan diajak melihat lingkungan pondok pesantren yang sebenarnya, kegiatan yang bisa diikuti, dan tentu saja sisi-sisi menariknya. Mungkin tidak digambarkan secara lengkap dan detil, tetapi untuk konsumsi anak-anak, kisah Sakina ini sudah cukup mewakili.
Dengan cover yang menarik, font tulisan yang cukup besar dan nyaman bagi anak, kisah persahabatan beserta konflik-konflik pertemanan ringan di pondok pesantren, novel ini bisa menjadi bacaan bermanfaat bagi anak.
Penulis : Irma Irawati
Penerbit : Qibla (Bhuana Ilmu Populer)
Cetakan : I/2013
Jumlah Halaman : 126
Sakina sedih dan kecewa. Hanya karena ayahnya sering berpindah lokasi kerja, dia harus dititipkan di sebuah pondok pesantren putri. Ya, Sakina akan menjalani hari-harinya dengan bersekolah dan tinggal di sebuah pesantren di pinggiran kota Bandung. Mama bilang, semua itu agar Sakina dapat berkonsentrasi belajar dan tidak terganggu sekolahnya karena harus sering berpindah-pindah.
Tentu saja Sakina berat menerima keputusan Mama dan Papa ini. Dia tidak ingin tinggal terpisah dari keluarga. Apalagi, pondok pesantren yang akan ditinggalinya tidak sebagus sekolah sebelumnya. Selain fasilitasnya yang tidak lengkap, lokasinya pun sepi dan jauh dari keramaian. Belum-belum Sakina sudah merasa tidak akan betah tinggal di sana. Karena itu, dia mulai menyusun skenario agar Papa dan Mama segera menjemputnya kembali dari pesantren.
Hari-hari pertama tinggal di pondok pesantren, Sakina mulai berbuat ulah. Dia tidak mau mengikuti berbagai kegiatan yang diadakan di pondok. Sakina bahkan berani menyembunyikan handphonenya dan bermain game diam-diam. Padahal segala bentuk alat komunikasi dilarang digunakan selama berada di pondok. Sakina pun selalu malas-malasan di saat jam pelajaran atau bolos shalat berjamaah. Sakina ingin pulang ke rumah!
Tetapi, sebuah kejutan di hari ulang tahunnya membuat Sakina bimbang. Dia memperoleh hadiah Sekotak Cinta dari teman-teman sekamarnya. Selain itu, ternyata dia mulai melihat banyak hal yang menarik di sekeliling pondok.
Apa sebenarnya yang ada di dalam Kotak Cinta untuk Sakina, sehingga dia mulai bimbang untuk pulang? Lalu, siapa pula sosok Lana, gadis cilik yang membuat Sakina merasa iba, sekaligus sangat mengaguminya? Di tengah kebimbangannya, Mama dan Papa mengabarkan kalau mereka akan segera menjemput Sakina kembali dari pondok untuk tinggal bersama di Jakarta. Waduh?
Menarik sekali mengikuti kisah Sakina ini. Ceritanya mengalir dan mudah sekali diikuti. Sosok Sakina seolah mewakili anak-anak modern yang masih memandang pondok pesantren bukan sebagai sebuah pilihan untuk menuntut ilmu. Pesantren dianggap tempat yang tidak keren dan kampungan. Seperti pikiran Sakina yang selalu membandingkan pondok pesantren ini dengan Sekolah Dasar Islam Terpadu, tempatnya bersekolah sebelumnya, yang mewah dan lengkap.
Secara nyata, masih banyak orangtua dan anak-anak yang masih ragu memasuki dunia pondok pesantren. Padahal banyak hal yang bisa dipelajari di tempat ini, di antaranya kemandirian dan pelajaran budi pekerti. Melalui novel ini pembaca akan diajak melihat lingkungan pondok pesantren yang sebenarnya, kegiatan yang bisa diikuti, dan tentu saja sisi-sisi menariknya. Mungkin tidak digambarkan secara lengkap dan detil, tetapi untuk konsumsi anak-anak, kisah Sakina ini sudah cukup mewakili.
Dengan cover yang menarik, font tulisan yang cukup besar dan nyaman bagi anak, kisah persahabatan beserta konflik-konflik pertemanan ringan di pondok pesantren, novel ini bisa menjadi bacaan bermanfaat bagi anak.
Komentar