Mangkunegaran Performing Art ~ Kearifan Budaya Lokal Yang Terjaga

Kontes Tulisan Tentang Solo
Saya sangat beruntung. Kedatangan saya ke Solo pada bulan Mei 2013 lalu ternyata bertepatan dengan adanya pagelaran Mangkunegaran Performing Art! Wuaah ... tentu saja ini pertunjukan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja. Sebagai agenda tahunan, Mangkunegaran Performing Art adalah pertunjukan langka dan hanya diselenggarakan setahun sekali saja. Kalau sekarang saya terlewat menyaksikan, berarti baru tahun depan saya bisa kembali. Terlalu lama, dan entah apakah tahun depan saya bisa kembali ke Solo atau tidak. Karena itu, dengan semangat saya bergegas ke Pura Mangkunegaran tepat setelah malam tiba.

Solo adalah kota yang masih begitu kental dengan unsur tradisi dan budaya. Banyak warisan budaya masih bertahan dan mengakar kuat di dalam masyarakat. Banyak sekali bukti-bukti budaya dan tradisi yang masih mengukuhkan tentang hal itu. Pura Mangkunegaran salah satunya. Dan ke tempat itulah malam itu saya melangkah. Mangkunegaran Performing Art digelar langsung oleh keluarga kerajaan Mangkunegaran, dan itu akan jadi pertunjukan yang sangat istimewa.

Dok. Pribadi
Suasana sudah begitu ramai ketika saya datang. Area pendopo sudah dipenuhi masyarakat Solo yang begitu antusias menyaksikan pagelaran ini. Tua, muda, laki-laki, perempuan, semua bergabung menjadi satu. Saya bahkan harus berusaha mencari celah agar bisa mendapatkan tempat yang lebih leluasa untuk menyaksikan pertunjukkannya nanti. Sulit, setiap area sudah benar-benar dijejali pengunjung. Hanya dari deretan kursi tamu undangan saja panggung pertunjukkan dapat benar-benar disaksikan dengan utuh. Selain itu, saya harus tetap berdesakan dengan pengunjung lain. Luar biasa, antusiasme masyarakat Solo benar-benar mengagumkan. Dan hal itu terus terang membuat saya terharu dan bangga, karena budaya tradisional masih begitu dicintai di kota ini.

Arus pengunjung yang berdatangan masih belum surut. Padahal lokasi di seputar area balairung pertunjukkan sudah tidak menyisakan lagi tempat. Tetapi pihak Mangkunegaran sepertinya sudah mempredeksi hal tersebut sebelumnya. Karena itu, di luar pendopo, di halaman berumput yang cukup luas sudah dipasang dua buah lanyar tancap. Seluruh pertunjukan dan pagelaran yang diadakan di dalam pendopo akan disiarkan juga melalu layar-layar tersebut melalui kamera yang tersambung khusus. Keren! Dengan begitu masyarakat tidak perlu kecewa karena tidak kebagian tempat untuk menonton pertunjukan.

Anak-anak yang menari dengan rancak - dok. pribadi
Dengan tertib, masyarakat yang baru datang mengambil tempat dan duduk beralaskan rumput. Mata mereka mulai tertuju ke arah layar-layar yang terpancang di depan mereka. Tidak ada keributan, tidak ada teriakan kekecewaan karena hanya kebagian nonton di layar. Semuanya duduk dengan tenang, seolah menonton langsung atau melalui layar tancap sama menyenangkannya. Salut! Begitulah seharusnya menikmati sebuah pertunjukan. Jempol buat masyarakat Solo.

Mangkunegaran Performing Art sudah tercantum dalam Kalender Event Kota Surakarta 2013, dan sudah menjadi agenda tahunan yang diselenggarakan Pura Mangkunegaran. Pertunjukan ini sekarang menjadi salah satu atraksi unggulan kota Solo untuk menarik kunjungan wisatawan lokal dan mancanegara. Yang menarik, seluruh pagelaran tari yang ditampilkan dalam pagelaran ini merupakan karya dari keluarga istana dan menjadi hak cipta Pura Mangkunegaran. Contohnya, Tari Sobrak yang diciptakan oleh Gusti Heru (Gusti Pangeran Haryo Herwasto Kusumo) dan Tari Mandrarini yang diciptakan oleh Raja Mangkunegaran IV. Sangat terlihat bagaimana budaya itu terus dipelihara dan dilestarikan, bahkan di dalam lingkungan istana sendiri. Hal inilah yang kemudian akan menjadi contoh baik bagi seluruh masyarakat Solo untuk mencintai dan melestarikan kebudayaan lokal.

Mangkunegaran Performing Art  berlangsung selama 2 hari, yaitu tanggal 10 dan 11 Mei 2013, yang dibuka secara resmi oleh Wakil Walikota Solo dengan kata sambutan dari perwakilan Pura Mangkunegaran. Acara ini menggelar sejumlah tarian yang dibawakan oleh ratusan anak-anak dan remaja. Tidak kurang  dari Tari Golek Sukoreno, Tari Kupu Kupu, Tari Sobrak, dan Opera Timun Mas yang dipertunjukkan pada malam pertama bagi seluruh masyarakat Solo dan seluruh pengunjung yang terus berdatangan.

Penari-penari remaja - dok. pribadi
Selalu terasa berbeda apabila menyaksikan sesuatu secara langsung dibandingkan dengan yang ada di televisi. Contohnya menonton pertandingan olahraga. Menyaksikan langsung para pemain di lapangan jauh berbeda sensasinya dengan hanya menonton di televisi. Gaung dan gempitanya terasa jauh lebih kuat. Begitu pula saat saya menyaksikan pertunjukan tari tradisional di Pura Mangkunegaran ini. Nuansanya terasa sangat berbeda. Ada daya magis tersendiri yang membuat kaki saya menancap kuat untuk tidak beranjak, menyaksikan satu demi satu tarian yang disuguhkan. Mata saya tidak lepas dari setiap gerak tubuh dan hentakan tangan serta kaki penarinya. Saya menikmati setiap gemulai tangan penari mengibaskan selendangnya. Dengan alunan gamelan yang yang berkumandang, semuanya menjadi satu paket sajian yang sangat menarik. Bukan hanya saya yang terpaku menatap setiap tarian itu, tetapi juga seluruh pengunjung yang ada. Semua terdiam, membiarkan setiap tarian tuntas disajikan untuk kemudian bertepuk tangan bersama-sama.

Yang menarik dicermati adalah para penarinya yang ternyata yang sebagian besar masih anak-anak. Sebagian kecil lainnya adalah mereka yang baru beranjak remaja. Dan ternyata, mereka sudah tidak canggung lagi dalam menari. Gerak tangan dan tubuh mereka sudah luwes menarikan beragam tarian. Ada yang lemah gemulai, ada pula yang jingkrak-jingkrak menghentak sesuai dengan irama gamelan yang mengalun. Semua sama indahnya, sama menariknya.

Taman Sriwedari - Dok. Pribadi
Melihat kepiawaian anak-anak itu dalam menarikan beragam tradisional, pikiran saya melayang pada suatu sore di Taman Sriwedari. Mumpung berada di Solo, saya memang menyempatkan diri untuk mengunjungi tempat-tempat menarik yang ada di kota ini. Salah satunya adalah Taman Sriwedari. Niat awal adalah ingin melihat secara langsung Gedung Wayang Orang Sriwedari, mengingat wayang orang adalah salah satu kesenian yang masih dilestarikan dengan baik di kota Solo. Bagaimanapun, wayang orang memang sudah cukup langka saat ini, tergantikan oleh beragam budaya modern yang datang menyerbu. Beruntung kota Solo masih mempertahankannya, bahkan dengan memiliki gedung sendiri untuk pagelaran ini.

Berhubung saat saya datang ke Taman Sriwedari pada sore hari, tentu saja tidak ada jadwal pertunjukan wayang orang yang sedang dimainkan. Pertunjukan ini hanya diselenggarakan di akhir pekan dan pada waktu malam hari. Saya tidak kecewa, karena waktu saya pun tidak cukup banyak. Saya hanya ingin meninggalkan jejak saja di sana, kalau saya pernah mengunjungi Taman Sriwedari.

Sebagian anak-anak yang sedang berlatih menari - dok. pribadi
Ternyata, di Taman Sriwedari itu saya malah diberikan pemandangan yang luar biasa mengesankan. Saat itu pula saya menyadari mengapa Surakarta/Solo layak dijuluki sebagai Kota Budaya. Sore itu, Taman Sriwedari tampak ramai oleh ... anak-anak! Tadinya saya pikir karena ini adalah sebuah taman bermain, wajar saja kalau banyak anak-anak yang datang. Tapi perkiraan saya salah. Mereka datang bukan untuk bermain, tetapi untuk latihan menari! YA, anak-anak ini datang untuk belajar menari. Bahkan saya lihat anak-anak yang masih begitu kecil pun sudah siap dengan selendang yang terbelit di pinggang. Lucu!

Saya sempat ternganga. Ratusan anak perempuan (dan bahkan anak laki-laki) dipisahkan dalam kelompok-kelompok tersendiri di sebuah joglo yang terletak tidak jauh dari depan pintu masuk. Saya menduga, mereka dipisahkan berdasarkan level kemampuan tarian mereka. Yang masih baru belajar akan berada dalam kelompok sendiri. Begitu pula dengan anak-anak yang sudah berada di tahap lebih tingginya akan digabungkan dalam kelompok lainnya. Dan mereka berlatih dengan tekun sesuai dengan instruksi dari pelatih masing-masing. Sama sekali tidak terganggu oleh musik gamelan dan tarian yang sedang dimainkan kelompok lainnya. Setiap anak konsentrasi dengan gerakan tarian masing-masing.

Bahkan anak-anak lelaki pun belajar menari - dok. pribadi
Hati saya mendadak meleleh. Adem sekali menatap anak-anak itu. Di tengah hingar bingarnya budaya modern yang mendobrak masuk tanah air saat ini, mereka ternyata masih peduli dengan  budaya tradional negara mereka. Kesenian tradisional terkadang dianggap sebelah mata oleh anak-anak zaman sekarang. Belajar seni tradisional seringkali dianggap kampungan dan tidak keren. Tapi tidak bagi anak-anak di Taman Sriwedari ini. Keseriusan mereka berlatih menunjukkan bahwa mereka bangga dan peduli terhadap seni tradisional. Salut!

Karena itu, saat melihat penampilan penari-penari cilik di Mangkunegaran Performing Art, saya tidak lagi menjadi heran. Di Solo, bakat-bakat seni mereka sudah terasah semenjak dini. Inilah yang menjadi modal kuat bagaimana budaya tradisional mengakar kuat pada masyarakat Solo, karena mereka memang mencintainya, bukan karena sesuatu yang dipaksakan.

Rasanya semakin jelas kalau banyak pagelaran dan pertunjukan seni tari tradisional di kota Solo. Bukan saja karena masyarakatnya begitu mencintai budaya dan kearifan lokal, tetapi juga karena mereka menyimpan banyak bibit-bibit seniman unggul, yang akan mewarisi dan mewariskan budaya daerah mereka sendiri.

Bravo Solo!

Komentar

Unknown mengatakan…
Wah kota solo memang keren...
pengen main tapi sibuk terus...
keluarga Qudsy mengatakan…
calon juara ini... :)

gutlak mas Iwok, nanti kalo menang pinjem hp nya yaa :D
Iwok mengatakan…
@avnie - ayo ke solo, sekalian belanja batik.
@mba Yani - waaa ... aamiin ... mudah2an bisa menarik perhatian juri. HP? haha boleeeh ... yg penting menang dulu :p
Ika Koentjoro mengatakan…
Jiper nih baca tulisan ini, wis mugo-mugo menang neh ya Kang ^^
Iwok mengatakan…
oalaaa ... tulisan mba ika juga keren ah. yawis, mudah2an kita semua lolos menang yo mbak. aamiiin ^^

Postingan populer dari blog ini

Keajaiban Itu Ada; Bocil Sembuh dari Panleukopenia

Digitalisasi Usaha untuk Bertahan di Masa Pandemi

[Tips Menulis] Ketebalan Sebuah Naskah Novel?