[Family Vacation] Sebuah Drama di Atas Puncak Bromo – Part 2
Bagian 1 bisa dibaca di sini!
Istirahat setengah jam, perjalanan dilanjutkan. Kali ini terasa lebih gagah karena sudah menggunakan Jeep seperti yang ada di foto-foto. Hehehe. Lalu, kenapa harus pake mobil Jeep dan nggak boleh pake Oplet? Karena jalannya nanjaaaak. Yaiyalah, kan emang naek gunung, jek! selain nanjak, jalannya pun sempit dan curam di beberapa lokasi. Untungnya perjalanannya malem, jadi kita nggak nyadar kalau sebelah kiri dan kanan kita adalah jurang-jurang menganga. Huwaaaa ... kalau saya yang nyetir ke sini sudah dipastikan akan menghentikan mobil tengah jalan, terus turun dan memilih balik lagi buat pulang. Jalan kaki!
Meski tidak beraspal mulus, tapi jalanannya cukup rata. Di sebagian jalan bahkan hanya beralaskan tanah dan pasir, tapi perjalanannya masih cukup nyaman. Di sinilah fungsi Jeep beroda besar ini kali ya? Dan meski body jeep-jeep yang saya temui tidak dalam kondisi mulus, tapi hampir semuanya menggunakan roda yang masih bagus! Roda atau ban memang jadi kunci kenyamanan dan keselamatan sepertinya ya, sehingga mereka sangat memperhatikan bagian yang satu ini. Sip deh.
Saya mulai berpikir, mungkin karena perut kita kosong, makanya kondisi kita juga jadi nggak fit. Akhirnya di warung ke empat, anak-anak saya pesankan mie rebus plus telur, sementara Iren yang sudah saya larang makan mi instan nyicip dikit saja dari anak-anak. Wajah Iren semakin pucat, lesu, dan saya semakin bingung, apakah rencana mengejar sunrise kita lanjutkan, atau kita pulang saja? Tapi, kapan lagi saya bisa menjejak puncak Bromo? Kapan lagi kita bisa berfoto berlatar puncak Bromo berselimut kabut?
Si Kakak cemberut saat saya sampaikan kita nggak usah naik saja. Iren dan Rayya sudah menyerah dan tidak bisa lanjut ke atas, sementara saya tidak tega harus meninggalkan mereka berdua. "Kita turun!" saya ambil keputusan cepat. Sudah pukul 4 dan sunrise segera tiba. Kita kembali ke warung ke dua yang kita datangi sebelumnya. Pemiliknya seorang ibu yang sangat ramah. Saya yakin si Ibu nggak bakalan tega kalau kita numpang menghangatkan diri di warungnya lagi. Kan jajannya sudah tadi. hehehe. Ternyata benar, si Ibu mempersilakan kami untuk beristirahat lagi di warungnya. Bahkan, ketika kami menanyakan apakah bisa numpang salat Subuh di warungnya, si Ibu segera membersihkan dan membereskan gudang yang biasanya digunakan untuk menyimpan barang jualannya. Huhuhu ... terima kasih banyak ya Bu.
Beres gantian salat saya melihat semburat jingga di ujung timur. Sunrise! Saya melirik si Kakak. Mungkin kami berempat tidak bisa bersama-sama menjemput sunrise di Bromo, tapi saya dan si kakak mungkin bisa mewakili.
Tubuh seseorang di depan saya menjulang tinggi. Dia asyik membidikkan kameranya ke arah sunrise yang baru merekah. Tubuh jangkungnya jelas menghalangi saya dan si kakak. Dia menoleh saat merasakan tubuh saya yang berusaha mengintip di sela pinggangnya; seorang cewek bule ternyata. Dia tersenyum. "May I have some space for my daughter?" kata saya. Dia mengangguk, "Yes, your turn now." Bule itu turun dari pagar dan membiarkan si Kakak naik. Alhamdulillah ... sunrise berada di depan mata!
Dalam perjalanan pulang, kami sempat mampir ke Bukit Teletubbies dan Padang Savannah. Setelah drama di awal pagi tadi, kali ini semuanya sangat terasa damai dan menyenangkan. Alhamdulillah ... ayo foto-foto lagi. hihihi.
Jadi keseruan apalagi selanjutnya? Bersambung ke Part 3 ya. Ayo klik di sini :D
Berapa biaya yang dikeluarkan di seputar Bromo? Hmmm ... hanya beli teh manis beberapa kali, mie rebus, dan beberapa gorengan. Nggak lebih dari 75 ribu kayaknya, soalnya yang mahal malah biaya toilet. Jangan salah, semakin mendekati puncak biaya toilet makin mahal. Di warung bawah, sekali ke toilet itu 3ribu perak. Di toilet tengah jadi 4ribu. Eh, di toilet terakhir malah jadi 5ribu. Mana setiap kali mau pipis barengan pula. Coba aja sekali pipis kali 4. Hahaha ... dan pagi itu ada kali kita pipis 3 kali. Mie rebus 15ribu pake telor, sementara teh manis hanya 2ribu perak satu gelas kecil.
Tips Tambahan :
Bawalah bekal makanan sebelum naik ke Bromo. Entah itu roti atau penganan kecil lainnya. Soalnya nyari makan yang 'bener' itu susah. Yang ada di warung nggak jauh dari Popmie dan mi rebus. Sempat saya lihat ada etalase bertuliskan soto dan sop, tapi kok nggak ada isinya. xixixi ... kemarin untungnya saya bawa roti cukup besar 2 buah, jadi bisa dapet masing-masing sepotong. Jangan lupa juga bawa cokelat batang. Itu ampuh banget mengganjal lapar. Kalau minuman sih di warung tersedia banyak. Mulai dari air mineral sampai minuman botol berwarna.
Beneran, aslinya berasa nggak ridho bangun pas lagi enak-enaknya tidur begitu. Itu tidur enak banget dan berasa baru ngedip doang, padahal lumayan dapet dua setengah jam. Lirik sebelah pules, sebelah lagi ngorok. Kalau saya nutup mata lagi, alamat semuanya bablas sampai besok pagi. Terpaksalah saya mengalah dan lompat dari tempat tidur lalu ngacir ke kamar mandi. Cuci muka, gosok gigi, ganti baju, lalu bangunin satu per satu. BANGUN ... WOY, BANGUUUUUN ....!
Mengejar sunrise |
Nggak ada malas-malasan. Semua harus bangun dan bersiap. Pak Bambang sudah menelepon dan standby di parkiran. Kita akan berangkat menuju Bromo tepat pukul 11 malam. Ya, untuk perjalanan ke Bromo ini kita memang ambil paket private tour dari Kayana Transport Malang. Jadi tidak digabung dengan wisatawan lain. Pertimbangan saya, anak-anak dan Iren belum tentu nyaman kalau di antara kita tiba-tiba nyempil penumpang lain. Apalagi dengan private begini, kita bebas menentukan berapa lama berada di suatu lokasi tanpa harus mikirin apakah penumpang lain pengen lama juga atau malah pengen buru-buru ke lokasi lain. Belom lagi kita nggak bakalan bebas cekikikan dan haha-hihi seperti biasa. Saya pengen momen liburan seperti ini jadi momen yang lebih mendekatkan kita sebagai keluarga, jangan malah jadi diem-dieman karena sungkan dan malu ada orang kelima, keenam, dan seterusnya. Ye kan?
Berapa harga paketnya? Untuk Paket Wisata Batu Bromo 2 hari 1 malam ini, setiap orang dikenakan biaya 650ribu. Pelayanan dimulai dari penjemputan di stasiun Malang (dari Bandara Juanda Surabaya juga bisa), jalan-jalan keliling objek wisata di Malang atau Batu, lalu dilanjutkan dengan paket perjalanan menuju Bromo all in. Kita nggak perlu mengeluarkan biaya lagi untuk tiket objek wisata Bromo dan sewa jeep di puncak Bromo. Oya, kendaraan yang digunakan untuk mengantar kita juga a brand new Avanza. Suwer deh saya surprise karena saya pikir kendaraannya biasa-biasa saja seperti mobil rental biasa. Kalau mau tahu lebih detil tentang paket yang saya ambil (atau paket-paket wisata lainnya) bisa dicek di sini.
Oya, kenapa harus berangkat jam 11 malam? Beberapa teman bilang mereka baru dijemput travel pukul 1 malam, kok kita pagi banget? Jadi gini, tujuan pertama di Bromo adalah menyaksikan sunrise di Penanjakan . Nah, untuk menuju puncak Penanjakan nanti mobil jeep yang kita naiki nanti harus berhenti di ujung jalan (Setelah itu kita masih harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 100 meter sampai puncak). Nah, berhubung jalannya kecil, setiap jeep yang datang harus parkir berderet terus ke bawah. Kebayang dong yang mengejar sunrise di Bromo di akhir pekan ada berapa banyak? Dengan ratusan orang saja, jumlah jeep yang datang akan mencapai ratusan buah juga. Semakin pagi kita datang, maka kita akan dapat parkir lebih atas, yang dampaknya tidak perlu berjalan kaki lebih jauh menuju puncak. Mereka yang datang terlambat terpaksa akan parkir di belakang jeep lain yang sudah datang lebih dulu. Dan antrian parkir jeep ini bisa mengular panjang hingga berkilo meter ke bawah! Hiyaaaa ... belom-belom sudah disuruh gempor duluan merayap ke atas kan? Bisa sih naik ojek, tapi anak istri saya dijamin nggak bakalan mau. Makanya, usulan Pak Bambang untuk berangkat lebih awal saya sepakati tanpa ragu. Brangkat pak!
Penuh! |
Ternyata ya, Batu menuju Bromo itu jauuuh. Hahaha ... saya pikir palingan sejaman lah. Eh tahunya nyampe 3 jam! Hiyaaa ... makanya anak-anak saya suruh tidur lagi. Untung bawa bantal leher, jadi mereka bisa maksain tidur di perjalanan. Lumayan lah ya merem bentar-bentar juga, biar nambahin tenaga. Dua jam perjalanan akhirnya kita tiba di sebuah guest house. Istirahat dulu kata Pak Bambang, sekalian kalau mau pipis dulu atau mau pasang perlengkapan perang seperti sarung tangan, syal, dan kupluk. Di guest house ini kita juga berganti kendaraan dan Pak Bambang menyerahkan kita kepada sopir Jeep yang namanya .... euuh, saya lupa nanya! #Plak.
Langit malam itu cerah sekali. Anak-anak langsung takjub melihat taburan bintang di angkasa malam. MasyaAllah .. indah. Belum-belum kami sudah disambut pemandangan amazing seperti ini. Tapi, udara memang sudah mulai menggigit. Sarung tangan mulai dipasang, kupluk dan syal juga. Saat ke toilet saya bergidik menyentuh airnya. Bagaimana orang-orang di sini bisa tahan mandi dengan air sedingin ini, saya pikir. Oke, saat itu memang masih malam, tapi saya yakin pagi hari pun airnya tetap nggak bakalan beda jauh dinginnya.
The girls |
Meski tidak beraspal mulus, tapi jalanannya cukup rata. Di sebagian jalan bahkan hanya beralaskan tanah dan pasir, tapi perjalanannya masih cukup nyaman. Di sinilah fungsi Jeep beroda besar ini kali ya? Dan meski body jeep-jeep yang saya temui tidak dalam kondisi mulus, tapi hampir semuanya menggunakan roda yang masih bagus! Roda atau ban memang jadi kunci kenyamanan dan keselamatan sepertinya ya, sehingga mereka sangat memperhatikan bagian yang satu ini. Sip deh.
Jam sudah menunjukkan pukul 2.30 saat kita tiba di titik akhir jalan menuju Bukit Penanjakan. Pak Bambang ternyata benar, jeep kami menempati deretan ke 4 yang datang di puncak Bromo pagi itu. Otomatis kita tidak perlu jalan jauh menunju puncak tempat menyaksikan sunrise nanti. Semuanya kemudian berlompatan turun penuh semangat. Ini momen yang paling ditunggu. Dari sekian objek wisata yang akan disinggahi, Bromo adalah magnet yang jadi tujuan utama.
Finally ... |
Tapi tunggu, badan saya tiba-tiba oleng. Dada saya sesak. Udara dingin menyergap cepat. Pusing pun mulai menyerang. Ada apa ini? Iren meraih lengan saya dan memeluknya erat. Sepertinya dia merasakan hal yang sama. Ketinggian membuat kadar oksigen menipis, ditambah udara dingin mulai menusuk tulang. Sepertinya kita belum menyesuaikan diri dengan perubahan suhu drastis. Akhirnya saya giring Iren dan anak-anak ke sebuah warung yang banyak berdiri di pinggiran jalan. Kita butuh waktu untuk penyesuaian suhu.
Dua gelas teh manis panas pun segera dipesan. Si Kakak terkikik saat teh manis yang semula panas mengepul tiba-tiba berubah hangat dalam hitungan tak lebih dari satu menit! Dinginnya dahsyat memang. Bahkan gorengan tempe dan pisang goreng tampak tidak menarik di hadapan saya. Lah, gorengan kan enaknya dimakan panas-panas ya, bukannya beku kayak begitu. hihihi.
Satu yang tidak saya duga dari awal, Bromo ternyata tidak bersahabat dengan Iren. Iren masih nggak kuat udara dingin. Saya masih ingat sewaktu liburan ke Taman Safari Bogor, dia menggigil hebat di malam hingga pagi hari. Dan Bromo yang kadar dinginnya jauh melebihi Puncak, memberikan dampak yang luar biasa. Dadanya sesak, pusing, dan juga mual. Setiap kali berdiri badannya langsung oleng. Hal yang sama ternyata dirasakan Rayya. Berjalan sebentar dia mengeluh pusing dan sakit dada (sesak). Meski saya tidak mengerti cara mengatasi kondisi seperti ini, saya minta mereka menghembuskan napas dari mulut. badan juga sering digerakkan agar bisa tetap hangat. Agar bisa lebih hangat, saya menyewa jaket tebal untuk Iren, Rayya, dan Abith. Siapa tahu dengan dobel jaket begitu, kondisinya bisa lebih baik. Tapi ternyata sepertinya tidak berpengaruh banyak.
Awalnya saya menyemangati keduanya untuk terus bergerak agar tidak membeku kedingingan, tapi rasa mual dan pusing semakin menjadi. Berjalan 50 meter saja kami harus berhenti di 4 warung! hehehe. Yang namanya warung, kita nggak mungkin sekadar numpang duduk dan nganget doang. Terpaksa harus pesan. Soalnya baru duduk aja udah ditanya mau pesan apa, padahal kita cuma mau istirahat doang. Akhirnya teh manis panas lagi dan lagi pesannya.
Seru-seruan dimulai! |
Meskipun kita datang paling awal, satu per satu sejumlah rombongan datang menyusul. Ratusan sudah melangkah penuh semangat menuju puncak, meninggalkan kami yang menatap mereka dengan getir. Bahkan saya menatap iri anak balita dan seorang nenek paruh baya yang seolah tak terganggu oleh dinginnya suhu pagi ini. Mereka melangkah riang menuju arah puncak.
Nggak ada kerjaan emang ya? IYA! |
Pasir berbisik |
"Ibu dan ade istirahat di sini, jangan ke mana-mana. Ayah sama si Kakak mau lari ke atas sekarang." kata saya. Iren mengangguk. Si kakak terbelalak semangat.
Tanpa tunggu waktu lama, kita berdua mencelat dari warung dan lari menuju Puncak Penanjakan. Di ufuk timur cahaya kemerahan mulai berpendar. Sunrise!
Puncak Penanjakan sudah dipenuhi lautan manusia, sepertinya tidak tersisa lagi celah untuk kami berdua. Pendar sunrise hanya terlihat dari sela-sela tubuh di depan kami. Saya menerobos tapi mentok di belakang tubuh mereka. Pagar pembatas pun tak menyisakan ruang lagi. Setelah kami datang paling pagi, ternyata kami tidak kebagian sunrise yang ditunggu, batin saya.
Tubuh seseorang di depan saya menjulang tinggi. Dia asyik membidikkan kameranya ke arah sunrise yang baru merekah. Tubuh jangkungnya jelas menghalangi saya dan si kakak. Dia menoleh saat merasakan tubuh saya yang berusaha mengintip di sela pinggangnya; seorang cewek bule ternyata. Dia tersenyum. "May I have some space for my daughter?" kata saya. Dia mengangguk, "Yes, your turn now." Bule itu turun dari pagar dan membiarkan si Kakak naik. Alhamdulillah ... sunrise berada di depan mata!
Pukul setengah 5 pagi, Puncak Penanjakan semakin terang. Masya Allah ... pemandangan dari atas sana membuat saya bergidik. Indah sekali. Puncak Bromo dan Puncak Gunung Batok tersaji sempurna dalam selimut kabut pagi. Ini adalah pemandangan yang sangat sempurna! Hawa dingin perlahan mulai terusir. Sinar matahari bahkan membuat tubuh saya menghangat. Dan tiba-tiba saya teringat dua orang yang tertinggal di sebuah warung. "Kakak, telepon Ibu, suruh ke sini! Di sini sudah nggak dingin, sudah mulai panas!"
Si Kakak mengangguk dan menelepon ibunya segera, Tak lama dia mengangguk, "iya mau ke sini katanya."
Saya pikir, kalau suhu sudah tidak seekstrim sebelumnya, Iren dan Rayya pasti tidak akan kedinginan lagi. Tapi, kenapa mereka datangnya lama sekali? Dari warung ke Puncak hanya sekitar 100 meter, meskipun memang menanjak. Dan perasaan saya pun mulai tidak enak. "Ayah mau nyusul Ibu dulu!" Dan si Kakak ternyata tidak mau ditinggal. Kami berdua berlarian turun. Di tangga menuju puncak, saya sudah melihat keduanya di sela-sela jubelan manusia. Wajah mereka belum sepenuhnya cerah, masih terlihat pucat. Saya kejar dan pegang keduanya. Di pinggir tanjakan Iren ambruk terduduk. Napasnya terhela satu-satu. Ternyata kondisinya belum sepenuhnya pulih. Dia masih merasakan gejala yang sama.
"Jangan buru-buru, istirahat dulu," kata saya. "Tapi Ibu harus ke atas, harus lihat Bromo secara langsung. Bagus banget" Iren mengangguk.
Entah berapa lama kami duduk di sana sebelum kemudian tertatih naik. Orang-orang yang pernah ke Bromo pasti bakalan mikir, jaraknya kan deket banget sampai ke puncak, kok sampai nggak kuat sih? Tapi kami yang mengalami tentu saja akan berpikir lain, lah kondisinya memang seperti ini kok. Kalau kuat sih sudah sedari tadi kali kami lari ke sana.
Saat orang-orang mulai bergerak turun, kami baru mencapai Puncak Penanjakan. Alhamdulillah ... kami berempat akhirnya sukses menapaki tempat ini bersama-sama. Berasa habis naik ke puncak gunung mana gitu ya? Hahaha ... Tapi setinggi atau serendah apapun, melakukan bersama-sama tentu sebuah hal yang luar biasa. Ye kan? Kan dong!
Setelah itu semuanya berjalan kembali seperti semula. Dingin sudah terusir pergi. Kami turun dari Penanjakan dan menuju objek berikutnya di sekitar Bromo. Awalnya saya takut Iren masih mengalami kondisi yang sama, tapi ternyata tidak. She recovered so fast. Alhamdulillah ... kita bisa menikmati foto-foto di atas lautan pasir sepuasnya, menyaksikan orang-orang menaiki Kawah Bromo (karena alasan ketinggian dan menghindari kecapean kita cancel naik ke Kawah), lalu menikmati hamparan Pasir Berbisik yang fenomenal. Kalau biasanya kita bermain pasir di pantai, kali ini main pasir di puncak gunung! Cakeeep ... Pasir Berbisik adalah lokasi yang paling saya sukai. Meskipun tidak menangkap sedikit pun bisikan pasirnya, tapi pemandangannya luar biasa sekali.
Dalam perjalanan pulang, kami sempat mampir ke Bukit Teletubbies dan Padang Savannah. Setelah drama di awal pagi tadi, kali ini semuanya sangat terasa damai dan menyenangkan. Alhamdulillah ... ayo foto-foto lagi. hihihi.
Kenapa bapaknya heboh sendiri ya? |
berasa lagi main film di Little House on the Prairie |
Jadi keseruan apalagi selanjutnya? Bersambung ke Part 3 ya. Ayo klik di sini :D
Berapa biaya yang dikeluarkan di seputar Bromo? Hmmm ... hanya beli teh manis beberapa kali, mie rebus, dan beberapa gorengan. Nggak lebih dari 75 ribu kayaknya, soalnya yang mahal malah biaya toilet. Jangan salah, semakin mendekati puncak biaya toilet makin mahal. Di warung bawah, sekali ke toilet itu 3ribu perak. Di toilet tengah jadi 4ribu. Eh, di toilet terakhir malah jadi 5ribu. Mana setiap kali mau pipis barengan pula. Coba aja sekali pipis kali 4. Hahaha ... dan pagi itu ada kali kita pipis 3 kali. Mie rebus 15ribu pake telor, sementara teh manis hanya 2ribu perak satu gelas kecil.
Tips Tambahan :
Bawalah bekal makanan sebelum naik ke Bromo. Entah itu roti atau penganan kecil lainnya. Soalnya nyari makan yang 'bener' itu susah. Yang ada di warung nggak jauh dari Popmie dan mi rebus. Sempat saya lihat ada etalase bertuliskan soto dan sop, tapi kok nggak ada isinya. xixixi ... kemarin untungnya saya bawa roti cukup besar 2 buah, jadi bisa dapet masing-masing sepotong. Jangan lupa juga bawa cokelat batang. Itu ampuh banget mengganjal lapar. Kalau minuman sih di warung tersedia banyak. Mulai dari air mineral sampai minuman botol berwarna.
Komentar
Semakin seru nih, Kang. Tidak sabar nunggu lanjutannya hehehe