Dunia Literasi Kami Berawal dari Sebuah Buku TTS!
Sewaktu kecil dulu, ayah (alm) seringkali membelikan
saya buku TTS—Teka Teki Silang. Iya, buku yang di dalamnya berisi kotak-kotak
dengan banyak pertanyaan mendatar maupun menurun. Kata ayah, mengisi TTS bisa
membuat saya jadi anak yang aktif bertanya dan akhirnya banyak tahu. Yang sering
ngisi TTS pasti tahu, adrenaline akan terpacu untuk bisa mengisi seluruh kotak
yang ada dengan menjawab benar seluruh pertanyaannya. Dan itulah yang kemudian
sering saya lakukan. Agar kotak-kotak penuh terisi, saya jadi tidak segan untuk
pontang-panting bertanya mencari jawabannya; pada ayah, pada ibu, pada kakak,
mencarinya di koran, atau membuka kamus (untuk pertanyaan yang berkaitan dengan
bahasa Inggris). Rasanya belum puas kalau masih ada 1-2 pertanyaan yang belum
terjawab sehingga masih ada kotak-kotak kosong yang tersisa. Dan kalau sudah
terisi penuh, kegembiraan saya ibarat sudah menjadi seorang jawara. Bahagia tak
terhingga.
Gambar diambil dari : www.crosswordsite.com |
“Mengisi TTS bisa membuatmu pintar!” itu alasan ayah setiap
kali membelikan saya buku TTS baru. Selesai dengan satu buku, akan ada buku TTS
lainnya. Begitu terus, hingga baru saya sadari sekarang kalau kecintaan saya
pada dunia literasi ternyata berawal dari buku TTS! Ya ampun, sesimpel itu
ternyata. Ayah tak perlu memaksa dan menjejali saya dengan buku-buku penuh
petuah atau buku ekslusif berharga mahal agar saya mulai suka membaca.
Dan kemudian, ayah memang tak sekadar menyodorkan buku-buku TTS saja. Sering juga beliau pulang
dengan sebuah majalah anak terbaru. Terlebih di awal bulan setelah baru saja
menerima amplop gaji bulanan. Saya girang tentu saja. Sebuah majalah adalah
asupan yang sangat bergizi bagi saya. Meskipun ayah hanyalah seorang tentara
berpangkat rendah dengan gaji pas-pasan, tapi beliau tak pernah segan menyisihkan
sedikit uangnya untuk beberapa buku TTS dan majalah. Untuk anaknya. Dan kamu
tahu, itulah yang selalu membekas dalam benak saya hingga sekarang. Ayah
berusaha untuk tidak pernah pelit kalau berkaitan dengan kebutuhan buku, bahkan
dalam kondisi keuangan sulit sekali pun.
Majalah Bobo, salah satu majalah anak yang sudah ada sejak berpuluh tahun lalu. Foto diambil dari : bobo.grid.id |
Dunia literasi sejatinya memang tumbuh dari lingkungan
keluarga. Dari sanalah seharusnya cikal bakal kecintaan seseorang terhadap
literasi ditanamkan, sedini dan seawal mungkin. Saya hanya berkaca pada diri
saya sendiri, apa jadinya kalau sedari kecil saya tidak dijejali buku-buku TTS
oleh ayah? Apakah saya akan sejatuh cinta ini pada buku kalau sewaktu kecil
tidak dikenalkan pada majalah-majalah anak yang dibeli ayah? Sekarang saya ingin anak-anak saya pun
merasakan apa yang sudah saya rasakan saat seusia mereka. Buku sudah membawa
saya pada lautan imajinasi, dan saya ingin anak-anak saya pun memiliki kegembiraan
serupa.
Dan saya pun mengikuti jejak ayah. Bukan, bukan
memberikan buku TTS pada kedua anak saya (lagipula buku TTS sudah jarang sekali
ditemukan saat ini), tetapi mengenalkan dan membuat mereka jatuh cinta pada
buku sejak awal. Saya ingin anak-anak saya tidak gagap literasi dalam
pertumbuhannya hingga dewasa kelak.
Apa yang kemudian saya lakukan? Ini beberapa cara saya
mengenalkan literasi untuk anak-anak saya semenjak mereka masih kecil.
1.
Dongeng
sebelum tidur.
Jauh sebelum mereka memahami sebuah buku dan bisa membacanya, anak-anak
saya sudah terbiasa mendengarkan sebuah dongeng pengantar tidur. Baik dongeng
lisan yang saya karang sesuka hati, maupun dongeng yang saya bacakan dari
sebuah buku. Saya senang saat mereka mulai menagih dongeng dan cerita baru
setiap malam. Tak hanya karena saya merasa dibutuhkan sebagai seorang ayah,
terlebih karena pengenalan literasi mulai diterima mereka dengan baik. Apalagi
dongeng ternyata merupakan gerbang pembuka ke dalam dunia literasi yang lebih
luas. Tinggal menunggu waktu saja mereka beralih pada literasi tulisan.
Dan ternyata, membacakan dongeng sebelum tidur ini membawa manfaat baik
bagi anak. Dikutip dari halodoc.com,
ada beberapa manfaat yang diperoleh anak yang terbiasa dibacakan dongeng
sebelum tidur, yaitu;
·
Meningkatkan
kemampuan bicara dan bahasa.
·
Menenangkan
anak.
·
Membiasakan
pola tidur sehat.
·
Menumbuhkan
minat baca.
·
Merangsang
imajinasi dan kreativitas.
·
Mengasah
keterampilan mendengar.
·
Mengenalkan
nilai moral positif.
Jadi, tidak ada alasan lagi buat orangtua untuk tidak membacakan dongeng
atau cerita menjelang anak-anak tidur, kan? Detil lebih lengkap tentang manfaat
membacakan dongeng ini bisa klik tautan di atas.
2.
Ke
toko buku!
Tatkala usia mereka semakin beranjak, sebuah dongeng
sudah tidak lagi dirasa cukup. Bermain ke toko buku adalah solusinya. Alih-alih
mengajak mereka ke taman bermain, saya lebih suka menggiring dua putri saya ke
toko buku. Di sana saya bebaskan anak saya berkeliaran, membolak-balik buku,
memilih dan memilah buku atau majalah apa yang disuka. Tugas saya hanya
mengawasi dan menjaga apakah buku yang mereka pilih sesuai anggaran yang
tersedia atau tidak. Hehehe.
Biasanya saya akan memulai petualangan mereka di toko
buku dengan ucapan, “masing-masing hanya boleh membeli dua buku saja.” Dan
mereka kemudian berlarian, mencari dan mulai memilih, membandingkan yang satu
dengan yang lain. Hanya dua buku saja setiap kali, tapi prosesnya tidak pernah sebentar.
Saya senang menyaksikan anak-anak akan memilih beberapa buku yang diincar, lalu
menjajarkannya satu per satu, ditimang, dibolak-balik, lalu mengentak kesal; “kenapa
cuma 2 sih?”
Meminta anak memilih sendiri bukunya jauh lebih
efektif dibanding membelikannya diam-diam. Di awal-awal saya pernah seperti
itu, membelikan mereka buku yang menurut saya cerita dan gambarnya cukup
menarik untuk anak. Tetapi, apakah menarik buat saya akan menarik juga buat
anak? Ternyata belum tentu! Buku-buku yang saya belikan hanya dilirik tanpa
antusias oleh mereka. Nyeseknya setengah mati. Dana yang terbuang sia-sia, kan?
Beda dengan buku yang dibeli atas pilihan sendiri, saya bisa menyaksikan mereka
membuka lembar demi lembarnya dengan atusias dan mata berbinar. Dan itu adalah
rangsangan yang besar untuk anak semakin mencintai dunia literasi.
3.
Momen
membaca seluruh keluarga.
Meminta anak suka membaca tapi orangtuanya sendiri
abai terhadap buku sama saja bohong. Bagaimanapun peran orangtua akan menjadi
sangat penting di mata anak. Orangtua menjadi sumber contoh terdekat untuk
ditiru dan diamati oleh anak. Kalau ayah dan ibunya tidak suka membaca,
bagaimana mungkin anak-anak akan menganggap membaca itu penting? Ayah dan ibu
saja tidak suka membaca, kok, kenapa saya harus?
Duduk dan ngumpul dengan keluarga untuk membaca atau membicarakan tentang buku. (Foto dokumen pribadi) |
Tetapi, saya menyadari kalau tidak semua orangtua
memiliki waktu luang yang sama. Ada yang memang leluasa, namun tidak sedikit
yang memiliki aktivitas padat sepanjang hari. Kegiatan membaca menjadi agenda
yang kemudian tersisihkan dengan sendirinya. Untuk menyiasati itu, dan agar
anak-anak memang menyadari kalau orangtua mereka juga peduli buku dan suka membaca,
kami mengadakan momen membaca bersama. Minimal satu kali dalam seminggu, di
hari libur, kami akan duduk bersama dan
melakukan aktivitas baca. Tidak boleh pegang gawai, tidak boleh nonton TV, yang
boleh hanya membaca. Mau duduk di kursi, mau tiduran di sofa, mau gelutukan di
karpet, yang penting harus membaca. Ngobrol boleh, diskusi juga boleh, asal
yang dibahas tentang buku. Seru, kan? Setidaknya itu cara kami untuk terus
menghidupkan suasana literasi di dalam rumah.
Saya senang. Saya berhasil mengikuti jejak ayah dalam
menanamkan literasi pada anak. Tak ubahnya ayah, saya juga tidak bisa pelit
kalau untuk buku. Namun permintaan terhadap buku semakin hari semakin tinggi.
Anak saya yang kecil (11 tahun) bahkan bisa melahap novel setebal 500-an
halaman dalam tempo 2 hari saja! Itu sudah dipotong jadwalnya sekolah, belajar,
makan, sembahyang, dan tidur! Nafsu
membacanya sedang tinggi-tingginya sehingga buku itu tidak akan terlepas dan
akan dibawanya ke mana-mana. Pernah kami sekeluarga harus pergi ke luar rumah, dan
anak saya meneruskan membacanya di dalam mobil!
Dengan kecepatan membaca seperti itu, saya sempat
tidak percaya apakah dia benar-benar membaca bukunya? Saya khawatir dia
membacanya dengan melompati halaman-halaman tertentu agar bisa cepat selesai di
halaman penghujung. Cara satu-satunya adalah … memintanya bercerita! Saya minta
dia untuk menceritakan resensi bukunya; siapa tokohnya, seperti apa alur
ceritanya, dan apa bagian-bagian menariknya. Ternyata, anak saya menuturkannya
dengan lengkap, menepis kekhawatiran saya sebelumnya.
Akhirnya pola itu sekarang mulai saya terapkan.
Permintaan buku harus dimulai dengan setor resensi buku yang dibaca sebelumnya.
Awal-awal saya ikut membaca buku yang mereka baca, sehingga saya bisa tahu
seperti apa buku yang dibaca anak-anak. Namun belakangan, kecepatan membaca
saya tidak bisa mengejar kecepatan mereka. Saya terseok-seok di belakang
sementara mereka sudah melaju kencang. Mendengarkan resensi dari mereka menjadi
solusi untuk mengetahui lebih banyak tentang buku-buku yang mereka baca. Dengan
cara ini saya mengajak anak untuk mengingat dan belajar menceritakan ulang.
Jadi tak sekadar baca lalu selesai. Setidaknya ada pertanggungjawaban mereka
untuk setiap buku yang sudah dibeli melalui penyusunan resensi meskipun dalam
bentuk lisan.
Membuat
buku sendiri
Harapan saya terhadap anak-anak tidak pernah muluk;
asal mereka mencintai buku, itu sudah cukup. Tapi kalau mereka memberi lebih,
ya kenapa tidak? Saya akan sangat berbahagia untuk itu. Membaca ternyata
memberikan banyak imajinasi bagi anak-anak saya. Seperti yang sering saya
alami, selesai membaca sebuah buku imajinasi saya justru terpancing untuk
merangkai sebuah cerita baru. Dan ide-ide penulisan pun biasanya akan lebih
mudah bergulir setelah itu.
Kakak Abith dengan novel pertamanya; Me Love EXO |
Bertemu pak BJ. Habibie gara-gara menulis puisi tentang beliau. |
Kakak Abith mendapatkan kepercayaan untuk membacakan puisinya di depan Bapak BJ Habibie di kediamannya (Juni 2016) |
Abith, anak pertama saya, memulai kiprahnya dengan
menulis puisi anak dan cerita pendek di majalah anak dan koran. Setelah itu,
akhirnya dia berhasil menerbitkan novel anak sendiri berjudul Me Love EXO karena
kesukaannya dengan musik K-Pop (novel ini ditulis duet dengan saya). Sebuah
puisinya pun tergabung dalam buku kompilasi cerita tentang BJ. Habibie bersama
beberapa penulis lainnya. Bahkan pada kesempatan peluncuran bukunya tahun 2016
lalu, si Kakak diundang untuk membacakan puisinya langsung di hadapan Bapak
Habibie saat itu di kediamannya di Jakarta. Betapa literasi sudah menggiringnya
pada sebuah kebanggaan yang luar biasa. Dapat bertemu muka Presiden ke 3
Republik Indonesia dan orang hebat di dunia dirgantara secara langsung adalah
kesempatan yang sangat langka. Apalagi BJ Habibie berpulang pada 11 September
2019 lalu, tak akan ada lagi kesempatan kedua.
Rayya dengan buku pertamanya. |
Saat ini, dunia literasi sudah menjadi bagian dari keluarga
saya. Saya senang bisa menanamkan gerakan literasi ini pada anak-anak saya, dan
berharap kelak mereka pun akan menanamkan hal yang sama terhadap keluarganya.
Insya Allah.
#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga
Komentar
Mantap bgt kaks!
Kalau sempat main juga ke blog saya Cerita Alister N ya.... Makasih 🙏🙏